Menebar Kasih dari Tempat Kumuh
Hidup, mati, jodoh, dan pekerjaan telah disediakan Tuhan bagi setiap orang percaya. Maka bukan kebetulan kalau Novita Ayu Sudjie bertemu anak sahabatnya yang menderita autis.
Suatu saat Novita berkunjung ke rumah Anna, sahabatnya. Ia mendapati tingkah aneh Vinny, putri Anna. Vinny yang masih berusia tujuh tahun terlihat hiperaktif dan suka berbicara sendiri. Ia juga bisa sekonyong-konyong marah dan menangis tanpa sebab. Novita segera tahu Vinny mengidap autis, gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Novita iba bercampur haru. Hatinya tergugah. Selang beberapa bulan kemudian, bersama Anna, ia membentuk yayasan yang menangani anak autis. Ide ini muncul sebagai bentuk keprihatinan akan besarnya biaya penyembuhan seorang anak autis. Pada tahun 2003 ia dan Anna menggenapi keinginannya dengan membuka Yayasan Tali Kasih (YTK). Dengan dana Rp 130 juta, ia menyewa Ruko di kawasan Pluit dan melengkapinya dengan perlengkapan pelayanan anak Autis.
Pantang Menyerah
Lingkungan merasa keberadaan YTK sangat berarti. Terbukti dalam tempo empat bulan sejak dibuka, sudah 6 anak penderita autis menjadi siswa. Waktu itu uang pangkal Rp 500 ribu dan biaya terapi Rp 35 ribu perjam. Jumlah murid terus bertambah. Mereka ditangani enam guru. Setelah setahun berjalan, Anna mengundurkan diri. Sebagai ibu dari 4 orang anak, Anna tidak bisa membagi waktu untuk mengurus YTK. Imbasnya beban YTK full dipundak Novita. Beban ini semakin berlipat dengan akan habisnya masa sewa ruko. Di tengah kondisi itu, hatinya gundah. Ia merasa mengurusi YTK bukan panggilannya. Dia berdoa meminta petunjuk Tuhan. Maju atau menyerah. Tanpa disangka, dalam situasi sulit tersebut, ia ditopang seseorang yang rela mendanai uang muka untuk sebuah ruko tingkat dua di Jl. Tanah Pasir Raya Komplek Ruko 33. Uang yang diberikan Rp 275 juta. Angka itu cukup meringankan dari total biaya Rp 750 juta. Di tempat inilah YTK melakukan aktivitasnya. Meski dinilai kurang layak, karena bersebelahan dengan pasar dan kawasan kumuh, toh Novita gembira menerimanya. Bahkan belakangan ia mendapat lahan baru membaktikan kasihnya. Di halaman rukonya, ia kerap mengadakan pembagian sembako dan pengobatan gratis bagi masyarakat sekitar. Aksi sosialnya begitu diharap masyarakat di tempat kumuh itu. Meski harus berkorban dan meluangkan waktu menggalang dana dan materi. Tidak heran kemudian ia menjadi sosok populer di tengah masyarakat bawah ini. Kesulitan lain menghadang. Cicilan setiap bulannya dan tekanan dari orangtua siswa yang berharap anaknya lekas sembuh.
Bisa Sembuh
Tekanan dari orangtua siswa cukup gencar. Padahal waktu yang dibutuhkan untuk dapat sembuh dari autis tidak dapat ditentukan. Karena masingmasing anak tidak sama kondisinya. “Kerjasama antara kami dan keluarga untuk mengajari anak penderita autis sangatlah penting,” ujar jemaat GBI Mutiara Taman. Kini tidak sedikit dari siswanya yang telah berhasil. Contohnya ada anak didiknya yang bisa melukis. Bahkan ada yang memperoleh rangking setelah masuk di sekolah umum. Meski harus nombok membayar cicilan ruko, Novita masih memiliki obsesi megah. Ia rindu mendirikan asrama bagi penyandang autis. “Dengan asrama, kami bisa memantau perkembangan anak setiap saat. Untuk mewujudkannya, saya hanya bisa, berdoa” harap Novita yang rutin melakukan kegiatan sosial dan penginjilan ke daerah.