Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kisah Seorang Pastor’s Kid: Dari Nasi Padang Hingga Mi Instan




eBahana.com – Hana Sola Gracia: “Anak pendeta harus begini, harus begitu. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Sorotan orang-orang sekitar, termasuk beberapa jemaat, seperti menghujam jantung. Status anak pendeta menjadi beban buatku. Kalimat, ”Kamu kan anak pendeta…” sudah kudengar sejak masih kecil.”

Aku merasa dibedakan dengan anak-anak jemaat lain. Jika anak lain pelayanan seperti latihan tamborine karena keinginan, sedangkan aku? Sepertinya harus siap sedia. Pernah aku menolak menjadi singer untuk ibadah karena sesuatu hal. Seseorang kemudian berkomentar, “Anak pendeta kok nggak mau?” Pelayanan bagiku menyenangkan. Namun, yang bikin capek adalah orang-orang selalu mengingatkan status ‘aku anak pendeta’. Aku merasa kerap menjadi ban serep ketika petugas OHP, singer, worship leader, pemain musik di
ibadah remaja mendadak tidak datang. Hmmm

Seingatku waktu SMP aku pernah berdoa, “Tuhan, sulap bapak jadi seseorang, apa pun, yang penting jangan pendeta…”

Mengurung Diri
Pernah satu kali saat aku kena marah bapak, tiba-tiba aku merasa tidak layak jadi anak, apalagi anak pendeta. Kalau sudah seperti ini, mama memberi isyarat agar aku tetap diam. Hatiku sesak saat itu, hanya bisa menundukkan kepala dan tiba-tiba air mataku deras membasahi pipi. Tak tahan, aku langsung lari ke kamar, membanting pintu. Malam itu emosi yang biasanya berhasil aku redam, meledak hebat.

Aku mengurung diri. Pergi ke kamar kecil dan minum kalau orangtua tidak di rumah. Namun, aku tetap tidak mau makan, gengsi meski lapar.

Beberapa hari kemudian kakak rohaniku, Kak Linda dan Kak Tanti ke rumah. Mereka merayu dari balik pintu, memanjat pintu agar dapat mengintipku melalui ventilasi. Hal yang sama juga dilakukan temanku, Yono dan Bangun. Aku pura-pura tidur dan menangis sambil menggigit selimut agar tangisku tidak terdengar mereka.

Hari ketiga, datang rombongan temanku berjumlah lebih dari 10 orang, seluruhnya non-Kristen. Mereka teman bermain jelajah alam, seperti jalan ke waduk, goa, dan perbukitan. Karena nggak enak hati, akhirnya aku keluar kamar. Teras kamar penuh sesak. Mereka terdiam memandangiku. Entah apa yang mereka pikirkan.

Betapa terkejutnya aku, mereka datang membawa sebungkus nasi padang kesukaanku. Metri menjadi jurubicara. “La, makanlah. Kami akan menunggu kamu menghabiskan makanan itu.” Untuk beberapa waktu, aku membiarkan makanan itu tergeletak. Wajah-wajah mereka nampak tegang, menunggu reaksiku. “Cepet, La… dimakan.” Mereka membuka nasi bungkus.

Satu per satu mereka berceloteh, mencoba mencairkan suasana. Aku mulai menyendok makanan. “Enak ya, La?” kata Yono sambil cengengesan, senyam-senyum menggoda.

Aku tertawa mendengar celoteh mereka. Air mataku jatuh karena terharu. Tuhan mengirim mereka.

Setelah mereka pulang, aku kembali mengurung diri. Namun, siapa yang mengerti ‘beban anak pendeta ini, selain Tuhan?’ Aku merasa sendirian.

Selain bapak dan mama, kedua adikku berulang kali menengokku, meski hanya di balik pintu. “La, kasian perutmu… makanlah,” kata bapak. Kujawab, “Iya, aku mau mi instan bikinan Bapak,” jawabku dari dalam kamar. Dug! Dug! Dug! Suara langkah bapak setengah berlari, turun dari tangga menuju dapur. Aku tahu, hatinya pasti senang.

Bapak dan mama mengajakku berdoa untuk menyelesaikan masalah di hadapan Tuhan. Kami mengakui kesalahan kami, terlebih aku. Aku tahu ketika membanting pintu bahkan tidak membukakan pintu, itu sangat
menyakiti hati mereka. Beberapa bulan kemudian, berkat besar kuterima lewat acara Bible Camp. Acara khusus itu diadakan untuk anak-anak hamba Tuhan. Banyak kesaksian menguatkan.

Kisah ini ini kudedikasikan untuk orangtuaku, Pdt. Dwi Harto dan Wimbuh Rahayu serta adikku, Haru dan Mia. Terima kasih ya untuk kasih yang kuterima. Dulu aku menggerutu, kini penuh syukur… (Kisah Lala pada Niken)



Leave a Reply