Jurus Sederhana Kak Melfa
eBahana.com – Uli Maribot Manalu: “Sejak remaja aku suka dengar radio. Kayaknya asyik bener mendengar berita penting tentang banyak hal atau mendengar komentar para penyiar yang kadang bikin ketawa. Aku sangat menikmati musik yang kudengar lewat radio daripada TV. Pokoknya fanatik radio deh.”
Rupanya hobi mendengar radio telah menumbuhkan harapan di hatiku untuk bekerja di radio. Jadi penyiar. Syik asyik….kubayangkan aku berceloteh, bicara dan ribuan orang mendengar suaraku. Hmm….
Lulus SMU, aku sadar betul keuangan orangtuaku. Ayahku guru di sekolah swasta yang bergaji sedang-sedang
saja. Kami juga keluarga besar, terdiri 7 anak. Aku anak kelima. Artinya, masih ada dua adikku yang butuh biaya sekolah. Setelah lulus SMU, semua kakakku bekerja. Kalaupun kuliah, itu dengan biaya sendiri.
Mencari Kampus
Bekerja? Bingung juga, di mana? Yang ada dalam pikiranku kuliah di bidang broadcast. Aku benar-benar ingin
jadi penyiar. Kuliah? Uang dari mana? Kusampaikan cita-citaku pada Kak Melfa, kakak nomor dua. ”Mau kuliah?” tanya Kak Melfa. Aku mengangguk. Ia lantas bercerita tentang temannya, Kak Evelyn seorang jurnalis, pasti tahu informasi perguruan tinggi yang cocok untuk cita-citaku.
“Ayo lihat kampusnya,” ajak Kak Melfa. Bukan main senangnya hatiku mendengar ajakannya, meskipun dalam hati aku bingung. Kuliah, uang dari mana? Di mataku Kak Melfa adalah orang yang sangat sederhana, bahkan cenderung sangat perhitungan.
Dengan angkutan kota kami menuju kampus IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) yang terkenal dengan nama Kampus Tercinta, dekat dengan daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ternyata tidak ada fakultas Broadcasting. Yang ada fakultas Jurnalistik. Broadcasting tetap dipelajari meskipun hanya sekilas. Kami pun bergegas ke FISIP UI. Sayang, pendaftaran sudah ditutup. Aku masih menyimpan pertanyaan besar, akankah aku kuliah? Biaya? Tak mungkin aku tega biaya kuharap dari orangtua. Ah…. tapi kulihat Kak Melfa
bersemangat mencari info kampus.
Biaya Kuliah
Seperti mimpi. Sangat tak terduga, akhirnya Kak Melfa mengatakan bahwa ialah yang akan membiayaiku
kuliah. Padahal ia sedang meneruskan kuliah D3. Tentu sebenarnya bukan hal mudah baginya. Namun, ia serius membantuku. Atas dukungannya, aku kuliah di Kampus Tercinta jurusan Jurnalistik. Empat setengah tahun kemudian aku lulus dan bekerja di penerbitan dan telemarketing. Cita-citaku bekerja di radio seperti
terkubur.
Tuhan mewujudkan harapanku. Beberapa waktu setelah itu, aku diterima di Radio Pelita Kasih-96.30 fm Jakarta. Sungguh aku sangat bersyukur kepada Tuhan. Cita-cita menjadi penyiar menjadi kenyataan.
Biaya Rumah Sakit
Kak Melfa masih seperti dulu. Ia sederhana dan irit. Namun, ia akan berusaha membantu sebisa mungkin. Ketika bapak sakit kanker usus besar, bapak tidak mau dibawa ke rumah sakit karena alasan keuangan. Ia
tidak mau membebani anak-anaknya. Namun akhirnya, Kak Melfa mampu meruntuhkan keputusan bapak dengan mengatakan bahwa bapak tidak perlu khawatir tentang pembiayaan rumah sakit. Ia akan sepenuhnya menanggung biaya itu. Empat hari di rumah sakit, kemudian bapak dipanggil Tuhan.
Kak Melfa telah memberi yang terbaik bagi keluarga. Ia rela hidup bersahaja agar orang-orang di dalam keluarga bisa ditolongnya.
Kami adik-adiknya kerap terharu melihat Kak Melfa. Salah satu contoh kesederhanaannya adalah handphone
yang digunakannya amat jadul. Handphone kami harganya jauh lebih mahal, dan merupakan model
terbaru. Setiap kami menyarankan untuk ganti handphone yang lebih ‘masa kini’, ia hanya tersenyum. “Yang
penting fungsinya bisa buat nelpon….” jawabnya tenang.
Terima kasih Kak Melfa, atas pengorbananmu untuk keluarga…. Tuhan memberkatimu, Kak…,
(Kisah Uli pada Niken)