Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

HP.. oh.. HP..




eBahana.com – Christian Pardede: Ola la…senangnya aku ketika Bang Juli, sepupuku memberiku sebuah Handphone (HP). Tiga tahun lalu, saat aku kelas dua SMP, alat komunikasi itu merupakan barang mewah untukku.

Itulah pertama kali aku ‘pegang’ HP. “Tian, jaga baik-baik, jangan hilang. Biar gampang dihubungi,” pesan Bang Jul ketika menyerahkan HP. Kupandangi dan kupegang HP sepanjang malam hingga ketiduran. “Ati-ati Tian…jangan taruh sembarangan…,” kata mama pagi itu.

HPKu Hilang
HP kubawa ke sekolah. Istirahat tiba, kukeluarkan HP dari tas. Ingat pesan mama dan Bang Jul, aku langsung
memasukkan ke tas. Setelah itu aku jajan di kantin dan bel tanda masuk berbunyi. Murid-murid berlarian menuju kelas. Kubuka tasku, Dug! Hpku…Hpku… nggak ada di tasku. Di mana? Kucari berulang kali….Padahal aku yakin banget, sudah memasukkannya.

Guru datang, pelajaran mulai. Konsentrasiku buyar, pikiranku melayang-layang pada HP. Terbayang kemarahan mama. Ya… seharusnya aku nggak membawanya ke sekolah…nyesel….aduh…Tuhan, tolong dong…Berharap ada yang menemukan. Bel pulang, HP belum juga ditemukan. Bolak-balik kukeluarkan semua isi tas,
mencari di kolong-kolong meja. Aku minta tolong beberapa teman dan juga guru. “Siapa suruh ke sekolah bawa HP. Kita kan punya peraturan dilarang bawa HP ke sekolah?” kata guru, makin membuatku down. Langkahku gontai, seperti tentara kalah perang. Aku harus bilang apa pada mama dan bapak? Kepalaku pusing tujuh keliling, nyut-nyutan…

Menentukan Sikap
Apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya, bahwa HP hilang? Batinku berperang antara bicara jujur atau bohong. Lambat atau cepat ketahuan juga. “Tian, Hpnya mana?” tanya mama beberapa menit setelah aku sampai di rumah. “Oh…di rumah teman, mau diisi lagu, Ma.” Jawabku berbohong. “Kok kamu berani meminjamkan HP? Ayo…ambil sekarang!” Wadow…

“Nggak bisa Ma. Besok aja,” kataku asal saja, yang penting malam ini selamat. Mama tetap memaksa. “Berapa
ongkosmu ke sana? Ini Mama kasih uang. Jangan pulang kalau HP nggak kau bawa,” ancam mama. Tapi akhirnya mama melembut, ketika ingat sore itu aku harus jualan air mineral di lampu merah Komsen, Jati Asih, Bekasi.

Setengah jam berdagang, mama menyusulku. “Ambil Hpnya sana, Tian,” katanya. Kata-katanya seperti godam yang menghantam dadaku. Jantungku berdetak kencang. Melihat kemarahan di wajah mama, aku langsung pergi. Pikiranku kacau balau. Aku pulang mengambil beberapa pakaian.

“Mau ke mana, Bang?” tanya adikku. Aku diam, meninggalkan rumah tanpa uang sedikitpun.

Pertolongan Datang
Hari mulai gelap. “Mau ke mana, kamu?” tanya curiga Bang Pudin, teman bapak, sopir angkot. “Nggak tahu mau ke mana…,” jawabku bingung. “Ada apa kamu? Ada masalah? Kujelaskan masalahku. “Udah…kamu nginep di rumah Abang. Besok aku yang bilang ke Mama biar nggak marahin kamu. Ayo naik…” katanya menyuruhku masuk ke mobilnya. Sampai di rumah kontrakan Bang Pudin jam 22.00. Ketika bangun pagi, aku mulai tak betah karena di lingkungan itu banyak orang minum-minuman keras dan main judi. Bang Pudin mengajakku ke Pangkalan Jati, tempat mangkal para sopir angkot. Di sana aku bertemu bapak temanku, Bang
Melky.

Siang itu aku mampir di rumah Leni teman mengajar Sekolah Minggu yang juga teman Bang Melky. Leni
menghubungi Bang Melky dan menceritakan tentang ‘kaburku’. Kamipun janjian di Pangkalan Jati. Bang Melky membawaku ke kontrakannya. Ia bertanya tentang persoalanku.

“Sementara tinggal di sini, dari pada kamu pergi nggak jelas”. Ia menasihatiku untuk tidak kepahitan terhadap orangtua. Ia mendorongku berkata jujur soal HP yang hilang.

Bang Melky bekerja sebagai sopir angkot. Ia memberiku uang makan setiap hari Rp. 20.000. Empat hari menumpang, perasaanku tak enak. Hari ke lima Bang Melky membawa saudaranya Siboro yang juga mendorongku menyelesaikan masalah dengan mama. “Kamu bolos sekolah terlalu lama,Tian.” kata Bang
Boro.

Malam itu, jam 22.00 Bang Melky dan Bang Boro mengantarkan aku pulang ke rumah. Sebelum ke rumah aku mengajak Mama Leni untuk membantu menjadi pendamai. Aku minta maaf pada mama dan bapak. Mama masih marah. Bapak lebih tenang, “Ya sudahlah…siapa tahu kita bisa beli…”

Oh HP…HP…lewat peristiwa itu aku melihat kebaikan hati bang Pudin, Bang Melky, Leni dan mamanya, Bang Boro……gara-gara bohong semua orang kubuat repot..Tuhan, berkatilah mereka!
kisah Christian Pardede pada Niken



Leave a Reply