Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Dari TV, Gereja, Sampai Bu Gembala




eBahana.com – Fransweta Pardede: masa-masa berat tiba ketika bapak meninggal dunia. Terbayang kesulitan. Karena bapaklah satu-satunya tulang punggung keluarga.

Padahal beberapa hari sebelumnya kondisi kesehatan bapak membaik setelah menerima infus di rumah sakit. Aku tak tahu pasti sakitnya bapak. Ada yang bilang kena angin malam, sakit gigi dan tumor. Entahlah mana
yang benar. Karena rumah sakit juga tidak memberikan kejelasan.

Bayang Gelap
Aku shock. Terpukul. Bagaimana kehidupan kami tanpa bapak? Tak terbayangkan. Kenapa Tuhan memanggilnya begitu cepat? Hanya bapak yang bekerja. Meskipun cuma sopir mikrolet, tapi selalu ada uang yang dibawa ke rumah untuk makan kami sehari-hari. Kami semua bersekolah dengan baik.

Kulihat kepanikan di raut wajah mama. Ia belum sehat betul, setelah tiga hari sebelumnya melahirkan adikku,
Hana Desiana anak ke-9. Hmmm, kami memang keluarga besar. Aku sendiri adalah anak ke-4, saat itu aku
baru duduk di kelas 3 SMP sedang menghadapi ujian praktik elektro. Pikiranku melayang akan masa depan.
Bayang gelap.

Lulus SMP tak ada uang untuk melanjutkan sekolah. Aku tak bisa menuntut pada mama. Melihatnya saja tak tega. Bagi kami, sudah sangat bersyukur kalau bisa makan. Daripada menganggur, selain membantu mama
membereskan rumah, mencuci pakaian, aku belajar mencari uang. Apa sajalah.

Ngamen, Kuli & Kantung Plastik
Kuberanikan diri ikut menurunkan pasir dari truk, menjadi kuli bangunan, ngamen dari rumah ke rumah. Dengan uang tersebut kadang aku ke toko membeli kantung plastik yang kujual kembali pada para ibu di pasar. Aku juga menawarkan jasa, membawakan belanjaan. Uang yang kuperoleh kuberikan pada mama untuk membeli beras. Dalam sibuk dan lelah aku masih menyimpan keinginan bersekolah. Kubawa harapanku pada Tuhan dalam doa.

Mas Ayub dan Bang Corlis, keduanya hamba Tuhan di gerejaku mengenalkan aku pada lembaga pelayanan media. Mereka berkunjung ke rumah kami yang sangat sederhana. Dinding rumah terbuat dari anyaman kayu yang bolong di sana-sini. Bila hujan tiba, lantai tanah segera akan basah.

Orang-orang dari media juga ngobrol sama mama. Mewawancarai kami. “Masuk TV untuk program rohani,”
kata mereka. Sebelum pulang mereka memberikan amplop berisi uang. Kami kaget, karena hari itu beras habis. Salah satu dari wartawan itu bertanya, ”Cita-citamu, apa Frans? Apa keinginanmu?”

Dengan spontan kujawab, “Sekolah!” Intinya aku ingin membantu mama, meringankan beban beratnya.

Datang Bantuan
Tak kusangka, program rohani di TV itu mengulurkan tangan untukku. Mereka mau membiayaiku meneruskan sekolah. Oh, terimakasih Tuhan…Aku sekolah. Puji Tuhan.

Namun hal tak kuduga datang. Setengah tahun kemudian, orang yang mensponsorori sekolahku berhenti
menyekolahkan aku. Program TV itupun tak ada lagi. Kesedihan begitu menekan batinku. Kudatang pada-Nya,
“Tolonglah, aku ya Tuhan. Aku ingin sekolah”. Aku menangis.

Pertolongan datang, gereja mengambil alih uang sekolahku meskipun secara keuangan belum memadai. Untuk
mengirit ongkos transport ke sekolah, aku juga diperbolehkan tinggal di gereja. Menjelang ujian nasional,
kebutuhan sekolah melonjak. Biaya try out, biaya ujian, daftar ulang dan pengambilan ijazah.

Tak hanya dari diakonia gereja, ibu gembala sidang, Bu Poppy pun turun tangan. Mereka peduli padaku. Sampai akhirnya bisa kudekap ijazahku dengan syukur mendalam, ijazah dari Sekolah Menengah Kejuruan Kawula Indonesia, Jakarta Timur. Haleluya. Kisah Fransweta pada Niken



Leave a Reply