Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Dari Ragunan Hingga Monas




eBahana.com – Pujiyati: “Kami sangat berbeda. Tapi Mbak Yayuk menghargaiku…”

Betapa senangnya hari itu, ketika aku lulus SMP. Namun harapan melanjutkan SMA buyar. Kiriman uang dari bapak yang bekerja di Palembang belum kunjung tiba. Aku melihat dengan jelas kegelisahan ibu kami. “Mak..ndak usah dipikirin, aku mau kerja saja,” kataku pada ibu. Ibu hanya terdiam memandangku. Rasanya aku memang harus mengalah. Lebih baik ketiga adikku: Anto, Tuti dan Tari yang diperjuangkan tetap sekolah. Pikirku, aku anak sulung, sedapat mungkin membantu ‘kerepotan’ orangtua.

Bertemu Kembali
Atas ijin ibu dan bapak, aku ke Malang ikut keluarga Pak Lik, pamanku, membantu jualan pakaian dan ngurus rumah. Setelah tujuh bulan, aku ke Solo bekerja di salon. Beberapa kali pindah dari rumah ke rumah. Sampai akhirnya Mei 2005 aku bekerja di sebuah keluarga di Bekasi.

Di sana aku bertemu kembali dengan beberapa orang dari kampungku, desa Mororejo, Kaliwungu, Semarang. Salah satunya adalah Sri Rahayu, aku panggil Mbak Yayuk. Dia pernah menjadi guru sekolah mingguku di GJKI saat aku SD dan SMP. Ketika bertemu kembali, Mbak Yayuk masih sama seperti dulu, baik dan ramah.

Bagiku ia seorang wanita sederhana, tangguh, pekerja keras yang juga berjuang bagi keluarga, menyekolahkan kedua adiknya. Dengan ‘susah payah’ Mbak Yayuk bisa kuliah.

“Dik, ke gereja loh,” bunyi sms Mbak Yayuk minggu dini hari. Aku tersenyum membacanya. Ia selalu mengingatkan pergi ibadah Minggu. Sesibuk apapun, secapek apapun, semalas apapun, pokoknya ke gereja. SMS atau teleponnya kerap ‘meruntuhkan’ alasanku bolos ibadah. Semangat!

Kami saling mengunjungi. Kadang aku yang datang ke kontrakan Mbak Yayuk atau Mbak Yayuk main ke rumah keluarga tempatku bekerja. Kami semakin dekat. Ia tak segan-segan menegur atau menasihatiku kalau cara berpikir dan perbuatanku ngawur.

Sejujurnya aku sangat minder dengan keadaanku. Lulus SMP dan bekerja di rumah tangga. Perasaanku ciut setiap berkenalan dengan orang. Aku kadang merasakan sikap beberapa orang yang tak ramah. Jangankan tersenyum. Uluran tanganku pun dibiarkan begitu saja. Ya, sudahlah.

Natal tahun lalu, tongpes, nggak punya uang. Maka aku putuskan tidak pulang kampung. Sama juga, Mbak Yayuk nggak pulang kampung. Libur seminggu, ia menginap di rumah keluarga tempat ku bekerja.

Natal Bersama
Malam Natal kami pergi ke gereja bersama. Sambil memandang pohon terang kerlap-kerlip, tanpa kesan menggurui dan ‘berkhotbah’ Mbak Yayuk mengatakan untuk selalu bersyukur atas kebaikan Tuhan. “Ayo, Dik, besok kita jalan-jalan, Ke Ragunan,” ajaknya sepulang kebaktian Natal itu. Aku tersenyum saja. Wadow. Uang dari mana? “Sudah, nggak usah dipikirin. Aku ada uang kok,” kata Mbak Yayuk, seperti membaca pikiranku.

Supaya irit, kami membawa makanan dan minum dari rumah. Dengan hati gembira kami melancong ke Kebun
Binatang di Jakarta Selatan itu. “Terima kasih, Mbak,” kataku setiap kali Mbak Yayuk membayar biaya transportasi, tiket, makan dll. “Iya, iya,” jawabnya tersenyum teduh.

Tahun baru Mbak Yayuk kembali mengajakku jalan-jalan, ke Monas! Biarpun hampir lima tahun di Jakarta,
aku belum pernah ke tugu Monas. Selama ini cuma lihat di tv dan majalah. “Mbak, nggak enak lah, kemarin di Ragunan, Mbak sudah mengeluarkan banyak uang,” kataku sungkan. “Dik, nggak apa-apa. Aku seneng kok,” tuturnya tulus.

Libur Natal dan Tahun Baru itu tak pernah kulupakan. Aku melihat aneka binatang di Ragunan dan melihat tugu Monas menjulang. Merasakan kebaikan Mbak Yayuk, orang yang murah hati dan tidak membeda-bedakan dalam berteman. Bintang-Nya gemerlap lewat hidup Mbak Yayuk. Wah, sebentar lagi Natal tiba. kisah Pujiyati kepada Niken



Leave a Reply