“Bu Olin telah membayar sebagian besar hutangku”
eBahana.com – Kupandangi brosur Pendaftaran Mahasiswa Baru Sekolah Tinggi Bahasa Asing BUDDHI. Empat bulan sudah selebaran itu di anganku.
Ku simpan sangat rapi. Kadangkala ku buka dan ku baca lagi. “Yayuk… kurang seminggu lagi loh, pendaftaran
tutup,” terngiang kata sahabatku. “Ku pikir kamu nggak berminat …makanya aku ndaftar sendiri,” sambungnya ketika kukatakan yang sebenarnya kalau aku ingin sekali kuliah di tempat itu. Ada kuliah malam dan kampus dekat tempat kerjaku di Tangerang.
Gaji Tanpa Sisa
Masalahnya adalah dari mana uang pendaftaran? Bekerja dari tahun 2002 tak punya tabungan. Bukan karena boros. Gajiku punya pos-pos pengeluaran yang langsung habis. Membayar cicilan motor, makan dan membantu orangtua menyekolahkan dua adik di kampung, Agus dan Wahyu. Apalagi saat itu kakakku, mbak Ika sedang menganggur. Beberapa pengeluaran yang biasanya ditanggung berdua menjadi tanggunganku sendiri. Ibu kami penjual jamu gendong keliling dan bapak buruh bangunan. Saat itupun ibu sedang berhenti bekerja karena mengurus nenek yang sakit. Jadi aku tak punya sisa gaji. Habis bulan habis uang.
Kuceritakan masalahku pada Pak Gregorius teman kantor. “Yuk, bilang saja ke bu Olin, siapa tahu bisa kasih
pinjaman dengan potong gaji,” katanya, memberi jalan keluar. Itu dia. Pinjam kantor? Betapa sungkannya. Bu
Caroline, direktur keuangan yang juga anak pemilik usaha AC tempatku bekerja, selama ini sangat baik padaku. Rasanya nggak sampai hati, memohon kebaikannya. Kalaupun mendapat pinjaman, berapa gaji yang akan dipotong tiap bulan? Cukupkah untuk keperluan rutin bulanan? Aku tidak biasa berutang. Berusaha mencukupkan diri dengan apa yang ada.
Keinginan kuliah kunyatakan pada Tuhan dalam doa. Kumohon pertolongan-Nya. Waktu pendaftaran makin mendesak. Terbayang wajah Bu Olin. Ah…tidak. Sungkan. Hmmm… tapi pada siapa lagi aku akan bicara?
“Nggak apa-apa, Yuk….temui Bu Olin. Ngomong saja apa adanya,” dorong pak Greg lagi.
Kuberanikan diri menemui Bu Olin. Kusingkirkan rasa sungkan yang memenuhi hati. Sampai di depan pintu
ruangannya, kubalik badan. Kuurungkan niatku. Bolak-balik mungkin lima kali, akhirnya kuketuk pintu. Bu Olin tersenyum. Dimulai permohonan maaf, kujelaskan maksudku. “Bagus, Yuk, kuliah. Senang, kamu mau maju. Soal pinjaman 1,9 juta boleh…nanti potong gaji tiap bulan,” kata Bu Olin ramah menanggapi niatku. Wajahnya membuatku tenang. “Terimakasih sekali, Bu Olin.” Aku keluar ruangannya dengan hati gembira. Membayangkan kuliah.
Bisikan yang Menggelegar
Tiga hari kemudian aku berpapasan dengan Bu Olin. Ia mendekatiku. Suaranya pelan, berbisik, “Yayuk, yang
satu setengah juta nggak usah bayar. Kamu bayar saja empat ratus ribu. Cicil empat kali, tiap bulan seratus
ribu,” tuturnya lembut tapi terdengar menggelegar di hatiku. “Iya, Yuk. Satu setengah juta nggak usah bayar,” katanya mengulangi, seperti menegaskan bahwa aku tak salah dengar. “Saya kan niatnya pinjam, Bu. Diberi pinjaman saja sudah sangat senang,” kataku heran, seperti mimpi. Kulihat mata Bu Olin yang sipit, kulitnya putih bersih. Kurasakan ketulusan hatinya. Bu Olin berlalu, aku masih bengong. Mukjizat! Mukjizat!
Ketika bertemu Pak Greg, kuceritakan mukjizat bagi utangku. Pak Greg tersenyum, dia berkata bahwa 1,5 juta sepenuhnya uang dari Bu Olin. Aku makin terhenyak. Bu Olin telah membayar sebagian besar hutangku.
Malam tiba di mess, penginapan yang disediakan oleh kantor. Kunaikkan syukurku pada Tuhan. Tuhan telah
memberi sesuatu yang tak pernah kupikirkan. Malam itupun aku berdoa, kiranya Tuhan melimpahkan berkat-Nya bagi Bu Olin, anak bos yang murah hati itu. Kisah Yayuk pada Niken Simarmata