“Biarkan Anak-Anak itu Datang KepadaKu”
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa adalah sebutan lain dari sosok guru. Astuti Maro selama 11 tahun mengabdi menjadi guru, tanpa mendapat bayaran dari sekolah-sekolah negeri, tempatnya mengajar. Inilah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang sebenarnya.
Sejak tinggal di kawasan industri Cikarang, 1996, Astuti Maro (49) memendam harapan untuk mengajar agama Kristen di Sekolah Dasar Negeri (SDN). Pengalaman pahit ketika dua anaknya yang masih bayi meninggal dan sekali keguguran, menjadi pelecut semangatnya untuk memperkenalkan anak-anak pada Tuhan sedari kecil.
Di SDN Sukaresmi Cikarang Astuti telah mengabdi selama 11 tahun. Ketika sekolah itu mulai aktif 1996, SD ini tidak memiliki guru Pendidikan Agama Kristen (PAK). Astuti mengetahui itu dari curahan hati orangtua murid sekolah setempat yang ingin anak-anaknya mendapat PAK.
Terus Bertumbuh
Mengetahui hal itu, Astuti berinisiatif mendatangi kepala sekolah. Dengan berbekal pengalaman sebagai guru
sekolah minggu, ia mengajukan diri menjadi guru agama Kristen. Tapi apa yang terjadi? Ketika ia menawarkan diri, kepala sekolah mengatakan jika di sekolah tersebut tidak memiliki anggaran untuk guru agama Kristen. Dengan besar hati ia mengatakan, “Tidak dibayar tidak apa-apa. Karena saya yakin Tuhan yang akan bayar saya,” ujarnya yang ketika mulai mengajar hanya ada 3 murid di SD itu.
Sejak dia mengajar di SD Sukaresmi, tiap tahun sekolah mengalami peningkatan jumlah murid Kristen. Namun, kondisi itu tidak menjadikan sekolah mempedulikan keberadaan murid Kristen. Sekolah cenderung tidak ingin mendukung sarana dan prasarana bagi murid Kristen untuk belajar agama. Wajar saja, jika ini mengundang protes dari orangtua.
Bukannya membangun kelas, sekolah malah membangun ruangan berukuran 3x4meter di atas septiteng
sebagai tempat belajar PAK. Mereka pun harus mendapati bau yang tak sedap kala terjadi penguapan kotoran. “Wah, sangat sulit belajar ketika bau itu muncul. Saya coba menenangkan mereka dan mengalihkan perhatian mereka dengan menceritakan pengorbanan Tuhan Yesus,” kenangnya.
Sekarang jumlah murid SD yang diajarnya mencapai 163 anak. Ia mesti menggunakan pekarangan rumahnya untuk kegiatan belajar. Terkadang ia dibantu sang suami, Paulus Maro yang juga hamba Tuhan di Gereja Masehi Injili di Indonesia, dalam mendidik moral calon pemimpin bangsa ini. Kegundahan lain di hatinya
adalah bagaimana murid bisa memiliki buku pedoman. Sekolah tidak menyediakan buku PAK bagi murid Kristen. Lagi-lagi sekolah beralasan tidak memiliki anggaran. Dengan inisiatifnya, ia menerapkan persembahan pada anak muridnya.
Rela Berkorban
Penerapan persembahan mendapat pertentangan orangtua murid. Mereka merasa persembahan hanya diberikan di gereja. Ia coba dengan proposal donatur. Lambat laun hatinya berontak dengan penerapan proposal. “Saya enggak mau mempermalukan Tuhan dengan proposal terus. Akhirnya saya hentikan penggunaan proposal untuk mendapatkan dana beli buku PAK,” ungkap lulusan STT Mahkota Sion ini. Ia kembali menerapkan persembahan, namun terlebih dulu dia mengundang orangtua untuk rapat dan menjelaskan situasinya.
Selain mengajar di SD Sukaresmi, ia juga mengajar di SMPN 03 dengan jumlah 33 murid dan 4 murid di SMAN 01 Cibarusa, Cikarang. Pada awal mengajar di tiga sekolah itu secara bersamaan, ia mesti menempuh perjalanan jauh dengan jalan kaki dan terkadang menumpang mobil. Cara ini ditempuhnya karena dari ketiga sekolah ini tak sepeser pun diterima sebagai pengabdiannya.
Sejak mulai mengajar, 1998, sampai saat ini, status Astuti sebagai guru bukanlah PNS atau guru honor, dengan gaji tetap, dan pensiun di hari tua. Melainkan hanya sebatas guru membantu dan melayani. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, ia berharap dari belas kasih orangtua murid. Semua itu tidak menyurutkan semangatnya. “Mengajar di sekolah negeri menjadi balasan terhadap berkat Tuhan yang telah saya terima dengan mengaruniakan James Maro, putra semata wayang kami,” tuturnya sembari tersenyum mengakhiri perbincangannya dengan Bahana. (Grollus)