Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Pendatang Jangan Menuntut Terlalu Banyak




Bali, eBahana

Senada dengan Bambang Noorsena, penyair perempuan Indonesia yang menetap di Denpasar, Bali, Dhenok Kristianti melihat, budaya Bali pasti akan tetap bertahan sampai kapan pun.

“Kita tahu, semua yang ada di Bali, bangunan, seni tari, sangat erat hubungannya dengan agama. Bahkan, beberapa tarian merupakan bagian ibadah yang hanya boleh dipentaskan pada upacara-upacara tertentu di halaman pura.

Hasil budaya yang lahir dari kepercayaan seperti ini akan lebih mampu bertahan dari gempuran modernisasi dan globalisasi.

Baca juga! Klik link http://ebahana.com/hot-news/pesta-kesenian-bali-ke-41-seni-bisa-menyatukan/

Selama agama Hindu menjadi agama mayoritas, kesenian yang merupakan bagian dari ibadah sudah pasti akan tetap bertahan sampai kapan pun,” katanya.

Meskipun demikian, Dhenok yang baru saja terpilih sebagai Pemenang I Hadiah Utama Sayembara Menulis Puisi Esai Asean ini tidak dapat menafikan adanya “ancaman” yang sedikit banyak telah dan akan menggerus kebudayaan Bali.

Yang pertama, “ancaman” tersebut datang dari dalam; maksudnya, ancaman berasal dari masyarakat Bali sendiri yang semakin pragmatis.

Di masa lampau, apabila suatu keluarga mengadakan hajatan, maka budaya gotong royong mewarnai kesuksesan hajatan tersebut.

Para wanita akan datang “ngayah”, membuat perlengkapan sesaji, sementara para pria bekerja sama membuat lawar, babi guling dan sebagainya.

“Dewasa ini, meskipun kegotong-royongan seperti itu masih ada, namun sudah agak terkikis.

Banyak keluarga yang memilih membeli saja perlengkapan persembahyangan dan memesan makanan pada catering-catering yang mulai bermunculan.

Photo by Basuki

Tampaknya kebiasaan baru ini terasa lebih praktis dan tidak merepotkan orang-orang sebanjar, namun harga yang harus dibayar adalah memudarnya budaya gotong-royong,” nilai Dhenok.

Yang kedua, kata Dhenok yang juga penulis kumpulan puisi “2 Batas Cakrawala” ini, “ancaman” terhadap budaya Bali bisa datang dari luar.

Sebagai daerah pariwisata nomor 1 di Indonesia, banyak sekali pendatang di Bali. Mereka tak hanya berwisata, namun juga mencari nafkah.

Para pendatang dari luar ini, tentu membawa masuk budaya dan kepercayaan mereka.

Hal tersebut boleh-boleh saja, apalagi bagi masyarakat Bali yang rasa toleransinya begitu tinggi.

Sayangnya, hal baik tersebut akhir-akhir ini bergeser menjadi “ancaman”, manakala sekelompok pendatang menuntut terlalu banyak.

Misalnya saja, pernah ada wacana untuk “merombak” pakaian penari Bali menjadi pakaian tari yang syari’i.

Hal ini diwacanakan karena adanya tuntutan dari para pendatang.

Apalagi hal tersebut benar-benar terjadi, maka tari Bali kehilangan ke-Bali-annya.

Hal lain, pada hari Raya Nyepi, apabila bertepatan dengan hari ibadah agama lain, maka umat agama lain diperbolehkan tetap pergi ke rumah ibadah masing-masing.

Baca juga! Klik link http://ebahana.com/hot-news/bali-miniatur-majapahit/

Bagi sebagian orang, hal tersebut dianggap wajar dan merupakan ujud dari toleransi beragama.

Namun bagi sebagian yang lain, hal itu menjadi pertanyaan besar, siapa bertoleransi pada siapa.

“Tak bisakah para pendatang yang bertoleransi pada umat Hindu sehari saja, beribadah di rumah masing-masing dan tak usah pergi ke gereja atau ke masjid?

Mengapa para pendatang menuntut terlalu banyak dan merasa berhak untuk mendapat perlakuan istimewa di hari besar orang Bali?” ujar Dhenok setengah menanya. Basuki

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan penulis di Tribun Manado, 17 Juni 2019.



Leave a Reply