Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Memerangi Monster Terorisme Berbasis Fanatisme Agama




Surabaya, eBahana

Demi mengenang kembali peristiwa peledakan menara kembar WTC atau yang dikenal dengan Black September 911 dan meluruskan terkait kata radikalisme dan terorisme, Paguyuban Warga GKJW Se-Kota Surabaya (PWGKS) menggelar Seminar Wawasan Kebangsaan: Menangkal Paham Radikalisme demi Keutuhan Gereja dan NKRI di Bale Pamitran (Gedung Serbaguna) GKJW Jemaat Surabaya (11/09/18).

Acara yang mengangkat tema “Menangkal Paham Radikalisme demi Keutuhan Gereja dan NKRI” ini menghadirkan narasumber Dr. Bambang Noorsena, SH., M.A. Menurut pendiri ISCS (Institute for Syriac Christian Studies), sebenarnya kata radikalisme dan terorisme itu berbeda makna. Dua kata yang lekat dengan bentuk negatif, tetapi sebenarnya tidak. Kata radikal tidak selalu bermakna negatif. Ia mencontohkan Sukarno. Dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, sang proklamator ini menegaskan soal perjuangan non kooperatif. Tidak bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Perjuangan pada jalur non parlemen. “Biarpun kita bergerak di luar jalur parlemen, tetapi jika jiwa hati, dan mata kita tertuju pada Indonesia Raya, itu disebut dengan radikal,” kutipnya mengawali pembicaraan.

Sebaliknya, terorisme memiliki arti yang negatif. Faktor pemicu munculnya terorisme adalah agama itu sendiri yang terlalu ekstrim. Setiap usaha yang dilakukan untuk ‘mencuci bersih’ agama, dengan ber-apologetika, “Ini bukan agama ‘kami’ (nama agama, red.)” adalah sia-sia. Tindakan over protective seperti ini tidak pernah menyelesaikan persoalan. “Dengan membebaskan agama kita dari kesalahan, akan sulit mencari akar kekerasan. Ibarat orang sakit mau disembuhkan, sulit dilakukan karena dia sendiri merasa tidak sakit.”

Lebih lanjut dikatakan, tidak cukup hanya mengutuk terorisme, dan membebaskan agama dari semua stigma negatifnya. Justru yang harus dibereskan adalah pemahaman keagamaan sesat sebagai legitimasi tindakan kekerasan. “Bahaya dari ideologi yang salah bisa menjadikan orang  “kelainan jiwa” dalam beragama. Bahkan, mereka bisa membunuh dengan senyuman. Bangga, karena sudah merasa berbakti kepada Allah. Ini jelas berbeda ketika seseorang berbuat jahat dan ketahuan. Ia akan merasa malu,” tambahnya.

Mengutip perkataan, doktor hukum pidana lulusan Unibraw (2012), Bambang mengemukakan bahwa tidak ada kejahatan yang melebihi jahatnya kejahatan yang digerakkan oleh motivasi keagamaan. Mereka harus disembuhkan dari penyakit kejiwaan dalam beragama. Mengapa pembunuhan dikaitkan dengan peng-kafir-an? Sebab kemarahan yang meledak, menemukan wujud terakhir berupa menghilangkan nyawa sesama alias pembunuhan. Dalam hal ini, ada motif atau niat seseorang berbuat jahat dan perbuatan jahat itu sendiri berkaitan erat. Suasana batin yang menentukan kualifikasi kejahatan juga menentukan berat atau ringannya pemidanaan

Dalam Matius. 5:21–22, Yesus tidak sekadar mengajarkan hukum positif (Torat) semata, tetapi juga mencabut akar kejahatan dalam hati dan pikiran. Dia memberikan edukasi (pendidikan) dan ‘pagar pengeliling Torat’ (seyag la Torah; pagar moral). Sebelum membunuh, jaga hati dan pikiran agar tidak membenci dan marah. Mengkafirkan orang lain yang berbeda paham dengannya adalah sebuah tindakan pembunuhan juga, yaitu theological killing (pembunuhan teologi). Dengan mengatakan “kafir”, hak hidup orang lain sudah tidak ada. Sedangkan kata “jahil” (jahiliyah), dalam bahasa Ibrani adalah caci maki teologis yang tingkatnya lebih berat sehingga sanksinya adalah neraka yang menyala-nyala.

Pancasila yang lahir dari kemajemukan keberagaman kepercayaan yang ada di Nusantara. Pancasila itu didasari pada salah satu agama saja. “Boleh saja mengatakan Pancasila miliknya Islam, Kristen, Hindu, Budha. Tidak apa-apa karena dengan begitu kita semua merasa memiliki.” Sebab, 26 kata yang membentuk sila dalam Pancasila adalah sumbangan dari berbagai agama dan kepercayaan yang ada di bumi Nusantara ini. Hendra Setiawan



Leave a Reply