Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Diskriminasi kepada Minoritas, Minim Literasi Aliran Agama?




Yogyakarta, eBahana.com – Kaum minoritas di antara kaum mayoritas, terutama menyoal aspek kerohanian, rentan menjadi bahan gunjingan. Dan Indonesia sepertinya sudah menjadi langganan masalah hak asasi manusia khususnya tindakan intoleransi dan diskriminatif. Tindakan itu meliputi penolakan kegiatan keagamaan, penolakan pendirian rumah ibadah, ujaran kebencian, perusakan rumah ibadah, gangguan aktivitas keagamaan hingga teror. Pelakunya pun mulai dari masyarakat biasa sampai pejabat daerah.

Kali ini viral diberitakan tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pejabat daerah. Peristiwa ini terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Izin pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu dicabut oleh Bupati Bantul Suharsono. Pencabutan tersebut dilakukan karena ada unsur yang tidak terpenuhi secara hukum, yakni melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemberian IMB rumah ibadah. Keputusan Bupati itu membuat pendeta dan 50 jemaat gereja terpaksa menumpang beribadah di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Sedayu hingga akhir Agustus mendatang.

Sebagai informasi, kedua gereja tersebut berbeda aliran dan punya tata cara ibadah yang berbeda meskipun berada dalam satu agama yang sama yaitu, Kristen Protestan. “Kami harus mengalah, ibadah dilaksanakan secara bergantian karena menunggu jadwal ibadah jemaat GKJ Sedayu selesai,” kata Pendeta Tigor Yunus Sitorus yang akrab dipanggil Pendeta Tigor.

Surat pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadah diteken Suharsono pada Jumat, 26 Juli 2019. Suharsono beralasan GPdI Immanuel tersebut menjadi satu dengan rumah tinggal Pendeta Tigor, sehingga tidak bisa difungsikan untuk rumah ibadah. Menurutnya, gereja seharusnya tidak boleh sekaligus digunakan sebagai rumah tinggal. Selain itu Suharsono juga mempersoalkan ibadah di gereja tersebut tidak berlangsung secara rutin atau hanya 2-3 kali dalam sebulan.

Sebagai pemilik bangunan, Pendeta Tigor mengurus IMB gereja sejak 2017. Lalu pada 15 Januari 2019 keluarlah surat izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu bernomor 0116/DPMPT/212/l/2019 tersebut. Semula bangunan gereja itu menjadi tempat tinggal Sitorus bersama istri dan anaknya. GPdI Immanuel merupakan satu-satunya gereja Pantekosta di desa tersebut. Tekanan dari masyarakat sekitar gereja terus bermunculan sejak 2003 dan membuat para jemaat tidak bebas beribadah.

Simpati Hadir untuk GPdI Immanuel Sedayu Bantul

Agnes Dwi Rusjiyati, Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi juru bicara GPdI Imannuel menyayangkan pejabat daerah yang tidak paham tentang denominasi atau aliran dalam agama Kristen hingga memunculkan keputusan pembatalan IMB. Ketidakpahaman itu membuka ruang untuk mendiskriminasi setiap aliran dalam agama Kristen dan agama lainnya.

Sementara itu, Sekretaris Badan Kerjasama Gereja Gereja Kristen (BKSGK) Yogyakarta Paulus Kristiyanto, menduga penolakan masyarakat terhadap pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu, Kabupaten Bantul, karena ditunggangi kelompok tertentu, beberapa oknum aktivis yang sudah dibubarkan. Paulus mengatakan, adanya dorongan dari kelompok tersebut berdasarkan pengakuan masyarakat setempat. Masyarakat hanya dikompor-kompori untuk mendesak kepala daerah mencabut izin pendirian gereja.

Menurut Paulus, rumah boleh dijadikan tempat ibadah. Asalkan, kata dia, izin tersebut ditulis di sebuah papan di depan bangunan. “Hanya memang ada kelemahan tidak ditulis di depan GPdI Immanuel Sedayu, izin bupati nomor sekian. Ini tidak ditulis,” kata dia.

Sementara dari Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara telah datang ke GPdI Immanuel Sedayu dan bertemu dengan Pendeta Tigor untuk meminta keterangan setelah mendapatkan pengaduan tentang penolakan gereja. Temuan awal Komnas HAM, kata Beka, menunjukkan ada intimidasi dan serangan terhadap GPdI Immanuel Sedayu. Bentuk intimidasi itu berupa spanduk penolakan gereja. Selain itu, rumah Pendeta Tigor dirobohkan sekelompok orang. “Gereja mendapatkan tekanan massa. Kami sudah memproses pengaduan mereka,” kata Beka.

Langkah Bupati Bantul tersebut dinilai Beka sebagai kemunduran terhadap penghormatan kebebasan beragama setiap orang yang dijamin konstitusi. Beka juga telah mengingatkan Suharsono agar menganulir keputusannya melalui pesan WhatsApp. Tapi, pesan Beka tak berbalas. Beka juga sudah mencoba mengirimkan pesan WhatsApp ke nomor Wakil Bupati Bantul Abdul Halim Muslih. Tapi, pesan itu juga tidak mendapatkan respon.

Direktur Urusan Agama Kristen Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama, Jannus Pangaribuan, menilai langkah Bupati Bantul Suharsono yang mencabut izin pendirian GPdI Immanuel Sedayu seperti main-main. “Kalau keluar IMB, artinya sudah ada kelaikan yang sudah dikaji. Ini kayak main-main,” kata Jannus.

Direktur Riset Setara Institute Halili menyayangkan pejabat daerah yang minim literasi tentang aliran atau mazhab dalam setiap agama, satu di antaranya Kristen. Minimnya pemahaman itu membuat pejabat daerah menyamaratakan atau menggeneralisasikan tata cara ibadah setiap aliran agama. Padahal setiap aliran punya cara ibadah yang berbeda dan memerlukan dukungan fasilitas untuk menjamin hak beribadah setiap umat. Hal yang dilakukan pejabat daerah tersebut malah mendikte keyakinan setiap aliran dan juga diskriminatif.

 

MK.dbs.

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Leave a Reply