Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Eksistensi Kristus dalam Pergulatan Sejarah Gereja




Sebagai upaya untuk menyamakan sudut pandang, pemaparan yang akan diuraikan menggunakan pendekatan kronologi terbalik. Maksudnya, kalau pemaparan historis biasa ditulis dari awal menuju akhir pada suatu periode tertentu. Dengan pendekatan ini justru dibalik dari akhir menuju awal. Setelah mengetahui metodenya, terkait isi sebenarnya dilandasi sikap keprihatinan karena hampir sebagian besar orang Kristen, khususnya di Indonesia, sangat mengenal dengan baik tentang aksi Kristus. Maksudnya tindakan yang Yesus perbuat ter­hadap umat manusia. Namun, sangat kurang mengenal eksistensi Kristus,  Semua itu terjadi karena peristiwa sejarah yang melatarbelakangi.

Reformasi Gereja

Secara sekilas kita membahas masuknya kekristenan di Indonesia. Kita tahu bahwa kekristenan dibawa Barat dengan ideologi The Three G (Gold, Glory, Gospel) atau The Three M (Merchant, Military, Missionary). Dengan demikian kekristenan yang dikenal di Indonesia adalah kekristenan Barat (Eropa). Untuk mempersingkat penjelasan historis, kekristenan Barat terbentuk pada masa Reformasi Gereja (kira-kira 1517-1600) yang mengakhiri dominasi para uskup dan biarawan dalam mempelajari Alkitab. Reformasi ini, salah satunya, menentang penjualan indulgensia. Tetzel berkata “Begitu mata uang bergemerincing di dalam kotak, jiwa yang sedang menanti di api penyucian pun akan terlepas”.  Bersamaan dengan peristiwa itu, Luther telah keluar dari pergulatan batin. Saat itu, ia masih mendasarkan ajaran yang saat itu diyakininya, yaitu manusia diselamatkan Allah dan perbuatan baik manusia. Namun, setelah membaca Roma 1:16-17, ia tercerahkan. Karena pencerahan itu, ia sangat menentang penjualan indulgensia dengan menyusun 95 dalil. Lalu, menepelkan di pintu gereja di Wittenberg pada 31 Oktober 1517. Dengan Reformasi saat itu, Gereja sangat menekankan aksi Kristus, yang berupa keselamatan, yang diberikan saat Dia disalib. Jadi, tidak menutup kemungkinan ajaran ini sampai ke Indonesia.

Skisma Besar

Reformasi Gereja ini terjadi sekitar 400 tahun setelah skisma (perpecahan) besar. Mendekati seribu tahun kehadiran Gereja, Gereja mulai ditarik ke dua arah yang berbeda, yaitu Timur (Yunani, Asia, Timur Tengah) dan Barat (Eropa). Tarik-menarik ini terjadi karena beberapa faktor seperti 1) Bahasa di Barat adalah Latin,  bahasa di Timur adalah Yunani; 2) Paus, uskup di Roma, menganggap dirinya mempunyai kekuasaan besar dan menyatakan diri sebagai kepala Gereja secara universal. Sejak saat itu, Gereja Barat memisahkan diri dengan Gereja Timur;  3) Sejak pemisahan itu, Gereja Barat mengubah doktrinnya. Salah satu perubahan itu adalah penambahan ungkapan dari Pengakuan Iman Nikea. Kalau Gereja Timur tetap mengakui bahwa Roh Kudus hanya “keluar” dari Allah Bapa, Gereja Barat menyatakan Roh Kudus “keluar” dari Allah Bapa dan Anak Allah. Istilah Latinnya adalah “… et Filioque proceedit…”.  Jika Gereja Barat masih mempertahankan doktrin baru itu, artinya doktrin itu telah “mencederai” doktrin Allah Tritunggal dan tidak ada kemajuan untuk mempertahankan kesatuan Gereja universal. Ber­beda dengan Gereja Timur, mereka masih mempertahankan kebersamaan dan men­jaga doktrin Allah Tritunggal seperti yang diputuskan di Pengakuan Iman Nikea.

Agama Negara

Akhirnya, kita tiba pada awal sejarah Gereja, seperti pendekatan terbalik pada penjelasan awal. Pada 313 M Gereja mengalami puncak kejayaannya ketika Kaisar Con­stan­tine telah menerima ke­kristenan sebagai agamanya. Saat terjadi per­ubahan yang mengubah jalannya sejarah Gereja. Saat itu, kekristenan telah menjadi agama negara, masa peng­aniayaan sudah berakhir sehingga orang Kristen bebas berkumpul, bepergian, dan berinteraksi. Namun, di tengah puncak kejayaan itu, Gereja harus menghadapi ancaman baru. Kalau ancaman sebelumnya berasal dari luar berupa penganiayaan, sekarang ancaman itu berasal dari dalam berupa penyesatan. Penyesatan itu justru diajarkan orang yang sebelumnya menjabat sebagai prebister atau uskup, seperti Arius, Eutykhes, dan Nestorius. Misal, Arius mengajar, “Pernah ada waktu  di mana Sang Putra Allah itu belum ada”. Ia meng­anggap Allah, yang kudus dan tidak berubah, mustahil berkaitan langsung dengan dunia yang kotor dan berubah-ubah. Kemudian, ia berpendapat harus ada makhluk pengantara antara Allah dan dunia ciptaan. Makhluk itu pada hakikatnya bukan Allah melainkan lebih mulia dari segala ciptaan. Dengan ajaran itu, artinya Kristus tidak kekal karena berupa makhluk ciptaan. Selain itu, ajaran ini menimbulkan pertanyaan, kalau Putra (Firman) Allah belum ada, dengan apa Allah menciptakan segala sesuatu karena dengan firman segala sesuatu diciptakan? Lebih lanjut lagi, jika setiap ajaran ditelaah satu persatu, ajaran mereka mencederai doktrin Tritunggal.

Allah Tritunggal

Dari dua fakta sejarah terakhir yang terurai di atas, benang merah yang dapat diambil adalah eksistensi Kristus, yang termaktub dalam doktrin Allah Tritunggal. Namun, kedua fakta tersebut berada di luar atau tidak termasuk dalam sejarah kekristenan di Indonesia. Karena kekristenan di Indonesia berasal dari kekristenan pasca Reformasi Gereja di Barat. Dengan sempurna, kita dapat menjelaskan sote­riologi tetapi kedodoran ketika menjelaskan Allah Tritunggal.

Karena itu, kita dapat belajar dari Paus Shenouda III, Patriakh Gereja Ortodoks Mesir. Allah adalah Esensi llahi, yang dikiaskan Sang Bapa. Firman, yang dikiaskan dengan Anak, menunjuk pada pikiran dan firman-Nya. Roh Allah adalah hayat (hidup) yang dimiliki Allah. Pikiran dan firman serta hidup Allah  dalam diri Allah bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.

Berbeda dengan Shenouda III, meskipun Yohanes tidak menjelaskan Allah Tritunggal dalam Injilnya, setidaknya, kita bakal mengetahui relasi Allah dan firman.  “Firman itu telah menjadi manusiasebagai Anak Tunggal Bapa, … tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa(Yoh. 1:14,18). Dari kata yang dicetak tebal,  kunci untuk mengetahui relasi tersebut adalah  Anak Tunggal Bapa, Anak Tunggal Allah sehingga menjadi Anak Tunggal Allah (Bapa). Ketika Yohanes menyebut Bapa, kata ini merujuk pada Allah. Ketika ia menyebut  Anak, kata ini merujuk pada Firman. Kesimpulanya, Allah yang kita sembah itu ada, bisa berkata-kata (tidak bisu), dan hidup (tidak mati). inilah doktrin Allah Tritunggal, yang terbungkus dalam keesaan Allah



Leave a Reply