Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Warga Negara Pancasilais




eBahana.com – Karena gemar penelitian sejarah, saya menemukan banyak kisah keteladanan luar biasa dari para pemimpin bangsa kita, dan itulah yang membuat saya bangga menjadi warga negara Indonesia. Separah apa pun kenyataan negara dan para pejabat kita sekarang.

Salah satu teladan itu, M. Natsir, kepala pemerintahan pertama NKRI—bentuk negara yang baru ditegakkan setelah berakhirnya sistem federasi yang di dalamnya negara RI cuma sebagian dari Pulau Jawa. Natsir pula yang, dalam Parlemen, memperjuangkan percepatan terwujudnya NKRI. Terkenal sebagai “Mosi Integral
Natsir”. Tidak kebetulan jika integrasi bangsa kita kaitkan dengan integritas pribadi Natsir.

Ia amat bersahaja. Ketika serah terima jabatan Perdana Menteri, ia langsung mengembalikan mobil dinasnya, dan pulang dengan dibonceng sepeda oleh bekas sopirnya. Ia tak mau mengkorup walau semenit pun fasilitas negara. Ia pun menolak seluruh uang sisa dana operasional jabatan, yang kendati sudah merupakan hak miliknya. [Bandingkan dengan pejabat lainnya yang sampai sekarang selalu meminta diperbesar anggaran tersebut dan selalu niscaya ludas bahkan tekor. Begitu pula ketika sebelumnya Natsir sebagai Menteri Penerangan. Para pejabat di Kementerian Penerangan sampai mengumpul saweran untuk membelikan kemeja baru buat Bapak Menteri mereka, lantaran Natsir cuma memiliki dua kemeja yang pula sudah agak lusuh….

Mohammad Natsir (1908–1993) adalah tokoh dengan keluasan pengetahuan yang sangat sukar ditandingi, menguasai secara aktif sejumlah bahasa Eropa, dan mengantongi reputasi internasional dengan skala yang tak kepalang tanggung. Ia kemudian pernah terpilih sebagai Presiden Liga Muslim Sedunia (President of The
World Moslem Congress), dan Ketua Dewan Masjid Sedunia. Ketika tahun 1966 Pemerintah Orde Baru hendak berdamai dengan Malaysia dan membentuk wadah kerja sama negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), delegasi Indonesia ditolak oleh Tunku Abdul Rachman. Pemimpin besar Malaysia itu baru mau menerima setelah mereka membawa secarik surat dari Natsir.

Di mata kaum politik berbendera “Nasionalis” (PNI, IPKI, dsb.), Natsir hanya sempat terlihat “lain” ketika ia
menjadi benteng konseptual utama kelompok yang ingin mengganti dasar-negara Pancasila. Pidato Natsir
dalam Konstituante enam puluh tahun silam—yang sampai sekarang masih terus dicetak ulang dengan judul “Natsir Membela Negara Islam”—memang tak pernah terbantahkan ataupun dijawab secara memadai.

Kritik Natsir terhadap penjelasan Sukarno mengenai Ketuhanan dalam Pancasila itu memang benar. Tuhan yang berubah-ubah menurut kondisi masyarakat tentu tak boleh kita terima. Walau Sukarno pun tak dapat disalahkan, sebab ia berteguh bahwa pribadinya tetap beriman pada Tuhan yang kekal. Yang salah hanyalah teori Materialisme- Historis pada waktu itu belum pernah diungkap salahnya. Bahkan sampai hari ini.

Natsir, hanya selang 4 bulan setelah berpidato di Konstituante itu, telah menjadi politisi utama PRRI/Permesta—gerakan revolusioner berasas Pancasila untuk mengoreksi pemerintahan yang dinilai sudah menyeleweng dari isi sejati Pancasila. Latar belakang yang sama dengan ketika ia ingin menegakkan secara
formal dasar negara Islam, yaitu karena Pancasila tak berfungsi dan terus diselewengkan. Ia memang berpendirian teguh.

Prakarsa penerbitan pertama pidato Lahirnya Pancasila tak lain oleh Menteri Penerangan Natsir 1947. Ia paling dipercaya Bung Karno buat menyusun draft pidato Presiden yang selalu sarat ideologi Pancasila itu. Sudah tak duduk dalam pemerintahan pun Natsir memberi Pengantar bagi buku Hamka, Urat Tunggang
Pancasila (1951). Kemudian dalam orasi ilmiah di Pakistan, 1952, ia mempromosikan Pancasila.

Pada tahun-tahun menjelang akhir hayatnya pun ia masih mengajukan pendapatnya yang terkenal mengenai hubungan Pancasila dan agama, yang diibaratkan sebagai hubungan benih tanaman dengan tanahnya. Warga-negara Pancasilais memang tumbuh subur dan berakar kokoh pada nilai-nilai agama.

Benni E. Matindas
Pengajar Filsafat, Penulis buku Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern



Leave a Reply