Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

TEOLOGI ANJING




eBahana.com – Kristen, sebagai penyempurnaan oleh Yesus atas ajaran yang dibangun Musa, Yesaya, Yeremia, Daud, Salomo, Daniel, dan banyak lagi nabi lainnya, tentu sudah bertaraf tinggi kebenarannya. Teologi Kristen pun sejak awal langsung mengalami pengembangan serba penting oleh para rasul dan para bapak gereja. Terus ditambah lagi pada masa perintisan ke arah Reformasi, kemudian dalam proses Reformasi
itu sendiri oleh Luther, Calvin, Melanchton dan seterusnya, sampai beratus-ratus teolog di kalangan Reformis maupun Katolik di abad-abad berikutnya. Tapi mengapa salah satu ujung puncaknya justru: Teologi Sekularisme, Teologi Tuhan Mati…?!

Teologi Sekular — Friedrich Gogarten, Dietrich Bonhoeffer, Rudolf Bultmann, William Hamilton, Gabriel Vahanian, Paul van Buren, John A.T. Robinson, Harvey Gallagher Cox Jr., Thomas J.J. Altizer — berkesimpulan untuk harus mengakhiri worldview yang serba-mitis dan serba-mensakralkan karena hidup dan penghidupan umat manusia hanya bisa dimajukan oleh kemampuan mengelola dunia ini secara rasional berdasar pengetahuan ilmiah. Agama harus berhenti jadi pengerdil kecerdasan umat melalui sistem serba mitis dan irasional.

Bila pada sepanjang masa-masa sebelumnya teologi selamanya dinilai sebagai perangkat agama yang niscaya baik, bahkan sakral, dan bahwa kesalahan hanya mungkin dilakukan oleh oknum-oknum manusia pelaksananya saja, maka inilah pertama kali dalam sejarah agama-agama besar muncul gerakan masif berupa kesadaran untuk mencurigai kemungkinan besar kesalahan pada konsep teologi sehingga menggagalkan tujuan hakiki agama itu sendiri. Kesalahan sudah terstruktur dalam sistem ajaran maupun kelembagaan fungsi agama.

Teologi Sekular pun membereskan masalah arah perwujudan iman. Aktualisasi iman haruslah terutama berupa amal kebaikan di tengah dunia, bukan hanya sekadar aktivitas ritual dalam kuil atau di bait Allah.
Doa pribadi dalam kamar atau dalam gua tempat meditasi hanya sebagai supporting factor bagi ibadah sejati
yakni perjuangan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi sebanyaknya manusia. Lembaga agama beserta rumah-rumah ibadatnya jangan jadi tempat sembunyi orang-orang pengecut yang tak punya rasa tanggung jawab sosial, lembaga agama harus menjadi sarana konsolidasi dan katalisasi proses perjuangan bagi aktivitas kebajikan di tengah dunia. Harus diakhiri teologi yang hanya sibuk dengan segala ritual, ritus penyembahan, serta hanya mengajarkan segala dogma mengenai hal-hal di seberang kehidupan dunia, teologi harus dikembalikan pada hakikatnya sebagai amanat Allah untuk manusia berlomba-lomba dalam kerja sama
mewujudkan secara konkret nilai-nilai kebajikan-Nya di dalam dunia.

Manusia beriman menjadi teman sekerja Allah dalam menyelenggarakan pemeliharaan ideal atas seisi alam ini berdasar hukum-hukum-Nya. Agama serta ibadat dikembalikan pada fungsi hakikinya, setelah terlalu lama
dimanipulasi oleh ajaran para pemimpin yang menuntut orientasi jemaat hanya tertuju ke dalam organisasi agamanya, membangun kemegahan organisasi jemaat agama, mengisi kas keuangan organisasi, mendirikan gedung tempat ritual yang gagah untuk menandingi pihak lain, mengutamakan pembesaran jumlah anggota seperti partai politik.

Pelbagai kritik atas teologi sekular selama ini tidak memadai. Bahkan sering salah alamat. Selebihnya hanya
sibuk dengan mencap “sesat”. Banyak yang hanya asyik dengan makian, karena Teologi Tuhan Mati, The Death of God Theology, dapat disingkat DOG Theology, maka dibilang: Teologi Anjing!

Di mana kelirunya Teologi Tuhan Mati? Itu hanya dapat terlihat secara utuh bila diletakkan dalam bingkai agama yang hakiki yakni kepasrahan diri secara total ke dalam jalan-Nya, menjalani kehidupan dengan kesadaran untuk selamanya menerapkan serta memelihara proses semesta seturut jalan-Nya, yang berlangsung dalam mekanisme impersonal hukum-hukum alam-Nya sambil selamanya kita memohon rahmat anugerah dari Allah Sang Maha Personal agar meski kita banyak kekurangan dan pelanggaran pada hukum-hukum-Nya tapi bisa memperoleh anugerah kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Jadi, fungsi Allah tetap penuh. Dan itu adalah kondisi obyektif, dalam arti fungsi-Nya itu tetap demikian meski manusia (dengan segala teologi sekularismenya) menganggap fungsi itu sudah berakhir. Sangat keliru teologi sekularisasi maupun paham sekularisme bila itu berarti penyelenggaraan kehidupan di dunia tanpa Allah.

Oleh Benni E. Matindas, Pengajar Filsafat, Penulis buku Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern.



Leave a Reply