Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

PENGAKUAN IMAN




eBahana.com – Ketika iman “timbul”, ada tiga tahap berikutnya yang harus dilakukan oleh orang percaya. Pertama, pengakuan iman. Kedua, mempraktikkan iman. Ketiga, pengujian iman. Iman harus diakui dengan mulut. Iman harus dipraktikkan. Iman harus diuji. Kata “pengakuan” adalah terminologi Alkitab yang memiliki arti khusus. Kata kerja “pengakuan” dalam bahasa Yunani homologeo biasanya diterjemahkan “untuk mengaku”, yang berarti secara harfiah “untuk mengucapkan sama dengan”. Jadi, “pengakuan” adalah “mengucapkan sama dengan”. “Pengakuan” selalu berhubungan langsung dengan firman Allah. Pengakuan adalah berkata dengan mulut kita sama seperti Allah berkata dalam firman-Nya—membuat kata-kata mulut kita sepakat dengan firman tertulis Allah.

Dalam 2 Korintus 4:13, Paulus mengaplikasikan ini pada pengakuan iman, “Namun karena kami memiliki roh iman yang sama, seperti ada tertulis: ‘Aku percaya, sebab itu aku berkata-kata, maka kami juga percaya dan sebab itu kami juga berkata-kata ….’” Berbicara adalah cara alamiah iman mengekspresikan dirinya. Seluruh Alkitab menekankan adanya hubungan langsung antara mulut dan hati kita. Apa yang dikatakan dengan mulut tidak bisa dipisahkan dari apa yang ada dalam hati. Dalam Matius 12:34 Yesus berkata, “Karena apa yang diucapkan mulut meluap dari hati.” Jika hati kita dipenuhi iman, itu akan diekspresikan dengan apa yang kita katakan melalui mulut kita. Namun, jika kata-kata keraguan atau ketidakpercayaan keluar dari mulut kita, itu mengindikasikan ada keraguan dan ketidakpercayaan dalam hati kita.

Dalam Roma 10:8–10 Paulus mendefinisikan syarat-syarat dasar untuk keselamatan, dengan meletakkan penekanan yang sama pada iman dalam hati dan pengakuan iman dengan mulut.

Ayat 8, Tetapi apakah katanya? Ini: “Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu.” Itulah firman iman yang kami beritakan.

Ayat 9, Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.

Ayat 10, Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.

Dalam tiap ayat di atas, Paulus berbicara mengenai mulut dan hati, dan urutan yang ia tulis signifikan. Dalam ayat 8, yang pertama mulut, lalu hati. Ayat 9 juga demikian, pertama, mulut, kemudian hati. Namun, dalam ayat 10, urutannya dibalik. Pertama, hati, lalu mulut. Kita mulai dengan firman Allah dalam mulut kita. Dengan mengaku dengan mulut, kita menerima ke dalam hati. Lebih banyak kita mengaku dengan mulut kita, iman dalam hati kita lebih kuat dibangun. Begitu iman di bangun dalam hati kita, tidak dibutuhkan usaha untuk membuat pengakuan yang benar. Iman secara alamiah mengalir keluar sesuai apa yang kita katakan dengan mulut kita. Sementara kita terus mengekspresikan iman melalui mulut kita, kita memperoleh faedah-faedah penuh dari keselamatan secara progresif.

Dengan cara yang sama, kita memiliki firman Allah yang tertulis dalam hati kita. Setiap kali ada suatu kebutuhan dan iman kita ditantang, kita mengakui firman Allah dan mengaplikasikannya sesuai dengan situasi yang kita hadapi. Pertama, biasanya ada pergulatan. Perasaan kita mendorong kita untuk mengatakan sesuatu yang tidak sepakat dengan firman Allah. Namun, kita harus dengan tegas melawan perasaan kita dan membuat kata-kata dalam mulut kita sepakat dengan firman Allah. Pada akhirnya pergulatan itu akan berkurang dan berakhir.

Menjadi alamiah bagi kita mengatakan dengan mulut kita mengenai situasi apa pun, sama dengan yang Allah katakan dalam firman-Nya. Penting untuk membedakan antara iman dan perasaan. Perasaan memiliki dasar pancaindra. Sering kali kesimpulan-kesimpulannya bertolak belakang dengan firman Allah. Namun, iman, seperti kita sudah lihat, menghubungkan kita dengan alam Allah dan firman-Nya yang tidak kelihatan. Di mana pun iman dan perasaan mengalami konflik, kita harus memastikan dengan pengakuan bahwa kita memilih berdiri dengan iman dan bukan dengan perasaan.

Ada tiga kata yang harus kita letakkan dalam urutan yang benar: fakta – iman – perasaan. Fakta berada dalam firman Allah dan tidak pernah berubah. Iman berdiri dengan fakta firman Allah dan diakui sebagai kebenaran. Perasaan mungkin bimbang dan ragu-ragu atau bahkan guncang; tetapi jika iman berdiri teguh dan bertahan kuat, pada akhirnya perasaan akan ikut sejalan dengan fakta. Di lain pihak, jika kita mulai dengan awal yang salah—dengan perasaan ketimbang fakta—kita akan selalu berakhir dengan masalah. Perasaan kita berubah setiap jam dan setiap detik. Jika dasar hidup kita adalah perasaan, segalanya akan menjadi tidak stabil. “Orang benar akan hidup oleh iman”, bukan perasaan.

Mempraktikkan pengakuan yang benar dengan mulut kita secara terus-menerus sangat efektif dan penuh kuasa. Namun demikian, jika disalahgunakan, itu bisa mengarah ke penyesatan yang secara spiritual berbahaya. Contohnya, pendekatan ajaran dengan kekuatan pikiran (otak) untuk mengontrol, di mana pengikutnya percaya bahwa untuk menyembuhkan dan memperbaiki problem-problem hidup, mereka mengulang-ulang ucapan, “Setiap hari dan dalam segala keadaan saya semakin baik dan baik” (auto suggestion).

Untuk menghindari penyalahgunaan seperti ini, ada lima pelindung berdasarkan Alkitab.

Pertama, kita perlu memeriksa bagaimana sikap kita dalam menghampiri Allah. Penulis Ibrani membuat catatan mengenai doa yang Yesus panjatkan di Taman Getsemani, “Karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan” (Ibrani 5:7). Sikap “kesalehan” diekspresikan dalam kata-kata, “tetapi bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Lukas 22:42). Ini membuat pola yang kita semua harus ikuti. Sampai kita menolak kehendak pribadi kita dan berserah kepada kehendak Allah, kita tidak memiliki dasar Alkitab untuk mengklaim jawaban atas doa-doa kita atau faedah-faedah dari keselamatan kita.

Kedua, kita tidak bebas melakukan “pengakuan” apa saja secara sewenang-wenang atau semau kita atau sesuai yang kita angan-angankan atau inginkan. Pengakuan kita harus dijaga berada dalam batas-batas firman tertulis Allah. Pengakuan jenis apa pun yang tidak berdasarkan pada Alkitab bisa dengan mudah berkembang menjadi angan-angan dan khayalan atau fanatisme.

Ketiga, kita tidak bisa berhenti bergantung pada pimpinan Roh Kudus. Dalam Roma 8:14 Paulus mendefinisikan mereka yang memiliki qualifikasi untuk diakui sebagai “anak Allah”. “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” Ini berlaku pada pengakuan yang kita buat dengan mulut kita. Roh Kudus harus memimpin kita ke ayat-ayat Alkitab yang kita perlu akui untuk menghadapi masalah tertentu. Hanya Roh Kudus yang bisa mengambil logos kekekalan dan mengaplikasikannya pada masalah kita sebagai rhema praktikal yang hidup.

Keempat, kita tidak bisa berhenti bergantung pada kasih karunia supernatural Allah. Dalam Efesus 2:8 Paulus menyatakan suatu perintah yang tidak pernah berubah “Karena kasih karunia … oleh iman ….” Hal yang pertama selalu kasih karunia, lalu iman. Jika kita berhenti bergantung pada kasih karunia dan kuasa Allah dan mulai bergantung pada kemampuan diri kita sendiri, apa yang kita alami akan sama dengan Abraham dan Ismail, bukan Iskhak.

Kelima, penting untuk mengevaluasi secara benar bukti dari pancaindra kita. Allah tidak meminta kita untuk menutup mata dan kuping kita, dan berjalan seolah-olah dunia fisik dan materi tidak ada di sekitar kita. Iman bukan mistisime (kebatinan). Kita tidak mempertanyakan apa yang realitas pancaindra kita ungkapkan, tetapi kita mempertanyakan hasil akhirnya.

Mungkin ada suatu periode konflik antara pernyataan firman Allah dan apa yang pancaindra kita katakan kepada kita mengenai suatu masalah tertentu. Namun, jika iman kita valid dan kita berpegang teguh padanya dengan tabah menjaga pengakuan yang benar, pada waktunya kondisi nyata yang kita lihat dan alami melalui pancaindra kita akan berubah sesuai dengan yang kita sepakat dengan firman Allah.

Paulus menyimpulkan ajarannya dalam Roma 10:8–10, “dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” Kata “dan” mengindikasikan gerakan atau perkembangan. Dengan kata lain, kita bergerak maju dalam perkembangan menuju keselamatan, sementara kita terus membuat pengakuan yang benar.

Namun demikian, agar bisa membuat dan mempertahankan pengakuan yang benar, kita perlu mengerti lingkup kata “keselamatan”. Banyak orang Kristen membatasi “pengakuan” pada mengaku dosa dan “keselamatan” menerima pengampunan dosa. Benar bahwa Allah mensyaratkan kita untuk mengaku dosa dan bahwa keselamatan termasuk memperoleh pengampunan dosa. Namun, lingkup pengakuan dan keselamatan lebih jauh dari itu.

Dalam Perjanjian Baru, kata kerja Yunani sozo  biasanya diterjemahkan untuk “menyelamatkan”—memiliki arti jauh melewati pengampunan dosa dan termasuk memenuhi kebutuhan setiap manusia. Untuk memberikan beberapa contoh arti yang lebih luas, kata sozo digunakan untuk kesembuhan perempuan dengan pendarahan (Matius 9:21–22); kesembuhan orang lumpuh di Listra, sejak dalam rahim ibunya (Kisah Para Rasul 14:8–10); dilepaskannya orang yang kerasukan roh jahat di Gerasa bernama legion karena banyaknya roh jahat dalam dirinya dan ia menjadi waras (Lukas 8:36); membangkitkan anak perempuan Yairus dari kematian (Lukas 8:49-55); doa yang lahir dari iman menyelamatkan orang yang sakit (Yakobus 5:15).

Terakhir, dalam 2 Timotius 4:18 Paulus berkata, “Dan Tuhan akan melepaskan aku dari setiap usaha yang jahat. Dia akan menyelamatkan aku, sehingga aku masuk ke dalam Kerajaan-Nya di sorga ….” Terjemahan untuk “menyelamatkan aku” di sini adalah sozo. Dalam konteks ini, termasuk pelepasan, perlindungan, dan pemeliharaan Allah yang dibutuhkan untuk membawa Paulus dengan selamat melalui hidupnya di bumi sampai kehidupan kekal dalam Kerajaan Allah.

Keselamatan, karenanya, memberikan seluruh manfaat, keuntungan, dan kepentingan yang dibeli bagi kita dengan kematian Kristus di kayu salib. Manfaat-manfaat ini, apakah spiritual, fisikal, finansial, material, sementara, atau kekal abadi, diringkas dalam satu kata besar, yang mencakup semua di dalamnya—keselamatan.

Jalan kita masuk untuk mengambil berbagai manfaat dan keuntungan dari keselamatan adalah dengan melakukan “pengakuan”. Alkitab memberi kita pernyataan yang jelas bagaimana mendapatkan pemeliharaan Allah. Sementara kita menerimanya dengan iman dalam hati kita dan mengakunya dengan mulut kita, kita menjadikannya milik kita dalam pengalaman sesungguhnya.

Iblis sering menyerang orang-orang Kristen dengan perasaan berada di bawah penghukuman dan tidak layak atau tidak berguna. Kita mungkin mulai mempertanyakan kasih Allah bagi kita. Kita perlu mengatasi serangan-serangan setan ini dengan mengakui ayat-ayat suci yang bisa membungkam pendakwa kita. Contohnya mengutip ayat “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus “ (Roma 8:1).

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita” (1 Yohanes 4:16).

Berdasarkan ayat-ayat suci ini, kita membuat pengakuan pribadi: “Saya dalam Kristus. Karenanya saya tidak berada di bawah penghukuman. Allah membuktikan kasih-Nya untuk saya dengan bukti Kristus mati untuk saya ketika saya masih berdosa. Saya tahu dan percaya kasih Allah untuk saya sementara saya melawan semua perasaan negatif dan menjaga pengakuan ayat suci ini.” Penghukuman dan penolakkan diganti dengan perasaan damai dan perasaan diterima dan dikasihi Allah.

Kebutuhan kita mungkin dalam hal kesembuhan fisik dan kesehatan. Alkitab berkata mengenai Yesus, “Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita” (Matius 8:17); Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh (1 Petrus 2:24). Pernyataan-pernyataan ini meletakkan dasar untuk pengakuan yang cocok dalam bidang ini.

Setiap kali penyakit mengancam, kita merespons dengan pengakuan, “Yesus yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita dan oleh bilur-bilur-Nya kita telah sembuh.”

Jika kita mengalami kebutuhan uang, ingatkan diri kita pada 2 Korintus 9:8, “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.”

Satu tema besar yang melintasi seluruh surat rasul sampai Ibrani adalah Imam Besar Yesus Kristus. Dalam kapasitas ini, Yesus melayani sebagai wakil pribadi kita di hadapan Allah Bapa. Dia menutupi kita dengan kebenaran-Nya, memanjatkan doa-doa, mengajukan kebutuhan-kebutuhan kita, dan menjadi jaminan (penanggung) untuk pemenuhan janji-janji Allah mewakili kita. Namun demikian, sementara kita menelusuri tema Kristus sebagai Imam Besar ini melalui surat rasul, kita menemukan bahwa selalu ada hubungan dengan “pengakuan”. Pengakuan yang kita buat di bumi menentukan sejauh mana Yesus bebas melakukan pelayanan imamat-Nya mewakili kita di surga.

Dalam Ibrani 3:1 kita diperingatkan untuk menyadari Yesus Kristus sebagai “Imam Besar yang kita akui.” Ini menghubungkan imamat tinggi Kristus langsung dengan pengakuan kita. Pengakuan kita yang membuat pelayanan imamat-Nya efektif mewakili kita. Setiap kali kita membuat pengakuan yang benar, kita memiliki seluruh otoritas Kristus sebagai Imam Besar di belakang kita. Dia menjadi jaminan dan penanggung untuk pemenuhan pengakuan kita. Namun, jika kita gagal membuat pengakuan yang benar atau jika pengakuan kita penuh keraguan atau ketidakpercayaan sebagai ganti dari iman, itu tidak memberi Kristus kesempatan untuk melayani kita sebagai Imam Besar. Pengakuan yang benar memohonkan pelayanan imamat-Nya mewakili kita, tetapi pengakuan yang salah menutup jalannya.

Dalam Ibrani 4:14 penulis menghubungkan lagi Yesus sebagai Imam Besar dengan pengakuan kita, “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita.” Penekanan di sini adalah berpegang pada pengakuan iman kita. Sekali kita sudah membawa kata-kata dari mulut kita ke dalam kesepakatan dengan firman Allah yang tertulis, kita harus berhati-hati untuk tidak berubah atau kembali pada ketidakpercayaan. Banyak tekanan mungkin datang melawan kita. Mungkin ada hal-hal yang bertentangan dengan apa yang kita harapkan. Semua sumber pertolongan alamiah mungkin gagal. Namun, dengan iman dan pengakuan kita, kita harus terus berpegang pada hal-hal itu yang tidak berubah—pada firman Allah dan pada Yesus Kristus sebagai Imam Besar Agung di sebelah kanan Allah.

Dalam Ibrani 10:21-24, untuk ketiga kalinya, penulis menekankan hubungan antara keimamatan Kristus dan pengakuan kita.

Ayat 21, dan kita mempunyai seorang Imam Besar sebagai kepala Rumah Allah.

Ayat 22, Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.

Ayat 23, Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia.

Ayat 24, Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.

Kita melihat bahwa mengakui Yesus sebagai Imam Besar menempatkan kita atas tiga kewajiban. Tiap kewajiban didahului dengan kata “marilah ….” Pertama, dalam Ibrani 10:22, “Marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas ….” Kedua, dalam ayat 23, “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita …” Ketiga, dalam ayat 24, “Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan yang baik ….” Pusat kewajiban kita kepada Allah dan kepada sesama orang percaya adalah kewajiban kita untuk teguh berpegang pada pengakuan kita. Ukuran di mana kita melakukan ini akan menentukan ukuran kita memenuhi dua kewajiban yang lain, kepada Allah dan kepada sesama orang percaya.

Dalam nas-nas Ibrani kita sudah melihat, ada penekanan besar akan pentingnya menjaga pengakuan yang benar. Dalam Ibrani 3:1 dikatakan, “Pandanglah kepada Imam Besar yang kita akui, yaitu Yesus.” Dalam Ibrani 4:14 kita diperingatkan, “Baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita.” Dalam Ibrani 10:23 kita diperingatkan teguh berpegang pada pengakuan “tanpa keraguan”. Mungkin kita berada dalam tekanan yang terus meningkat yang membuat kita berubah atau pengakuan kita melemah. Namun, sebagai suatu peringatan, tidak jadi masalah tekanan apa yang melawan kita, kemenangan datang hanya melalui teguh berpegang pada pengakuan kita.

Dalam tiga peringatan terakhir dalam Ibrani, penulis memberi kita alasan spesifik kita harus teguh berpegang dan tidak ragu. Ia menambahkan, “Sebab Ia yang menjanjikannya, setia.” Pengakuan-pengakuan kita menghubungkan kita dengan Imam Besar Agung yang tidak berubah. Jalan yang dipilih dan ditetapkan Allah di mana kita memohon mewakili kita adalah kesetiaan-Nya, hikmat-Nya dan kuasa-Nya … Yesus Kristus.

 

Oleh LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply