Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

IMAN MEMBATALKAN KEJATUHAN MANUSIA DALAM DOSA




eBahana.com – Iman alkitabiah, seperti yang diimpartasikan Allah dan seperti yang bekerja dalam hidup kita, membatalkan efek-efek kejatuhan manusia dalam dosa.

Alkitab mengungkapkan bahwa manusia diciptakan dalam kesempurnaan, tetapi jatuh dari kondisi itu melalui pelanggaran yang mana ia bertanggung jawab kepada Allah. Namun, Allah tidak puas meninggalkan manusia dalam kondisinya yang jatuh. Sebaliknya, sejak itu dan selanjutnya, Alkitab membuka tema penebusan yang agung.

Kisah bagaimana Allah membeli manusia kembali untuk diri-Nya sendiri melalui kematian Kristus di kayu salib dan bagaimana Dia mengerjakan restorasi manusia, mengubah kodratnya dan cara-caranya untuk membawanya kembali kepada rencana awal Allah. Kunci untuk proses restorasi ini adalah “iman”. Dengan kata lain, efek penebusan mempraktikkan iman adalah membalik akibat-akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa.

Untuk mengerti ini sepenuhnya, kita harus memperhatikan kodrat manusia, langkah-langkah yang mengarah pada kejatuhannya, dan inti pencobaan yang padanya ia menyerah. Oleh karena itu, kita akan melihat bagaimana “iman” membalikkan itu semua. Gambar awal manusia seperti yang Allah ciptakan ditemukan dalam Kejadian 1:26, Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita …..” Sementara kita mengikuti tema ini dalam seluruh Alkitab, kita menemukan bahwa “gambar” antara Allah dan manusia memiliki banyak aspek yang berbeda.

Kita akan berkonsentrasi pada satu aspek dari kodrat ilahi—jarang disebut, tetapi sangat signifikan—yang memiliki counterpart dalam kodrat manusia: kemampuan mempraktikkan iman. Iman adalah bagian dari kodrat kekal Allah. Kemampuan kreatif-Nya keluar dari iman-Nya. Semua itu yang Dia lakukan, Dia melakukannya dengan iman. Lebih jauh, iman-Nya diekspresikan dalam firman yang Dia ucapkan. Firman-Nya adalah jalur atau kanal iman-Nya dan instrumen kemampuan kreatif-Nya.

Kuasa iman Allah dalam firman-Nya diekspresikan dalam Yehezkiel 12:25, di mana Tuhan mendeklarasikan, “Sebab Aku, TUHAN, akan berfirman dan apa yang Kufirmankan akan terjadi ….” Frasa permulaan “Aku, TUHAN” menunjukkan bagian dari kodrat kekal Allah yang tidak berubah. Ketika Allah berkata sesuatu, itu akan terjadi. Begitulah iman-Nya dalam firman-Nya sendiri.

Ada ciri atau sifat dalam bahasa Ibrani yang dengan jelas mengilustrasikan fakta ini mengenai Allah dan firman-Nya. Perjanjian Lama Ibrani memiliki satu kata—dabar—yang bisa diterjemahkan sebagai “kata” atau “benda”. Tergantung konteks terjemahan mana yang dipilih. Sering dua-duanya digunakan. Ini menolong kita untuk mengerti bahwa firman Allah adalah “benda”. Ketika Allah mengucapkan firman dengan iman-Nya, firman itu menjadi benda.

Sama juga dengan kata Yunani rhema yang digunakan dalam Perjanjian Baru. Rhema Allah—firman-Nya yang diucapkan—keluar dari iman-Nya mengandung di dalamnya kuasa melaksanakan apa pun yang diucapkan.

Dalam Ibrani 11:3 dikatakan bahwa seluruh alam semesta diciptakan melalui kuasa kreatif iman Allah dalam firman-Nya, “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.” Di balik seluruh alam semesta yang bisa dilihat, iman melihat dan memahami yang tidak kelihatan—firman Allah. Jadi, iman manusia mengenal bekerjanya iman ilahi.

Dalam Mazmur 33:6, 9 Daud menggambarkan proses penciptaan ini melalui firman Allah. Ayat 6, Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya.

Ayat 9, Sebab Dia berfirman, maka semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka semuanya ada.

Dalam Kejadian 1:3 kita dapat melihat contoh spesifik bagaimana ini bekerja: Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu, terang itu jadi. Ketika Allah mengucapkan firman “terang,” dabar atau benda dimanifestasikan. Firman yang diucapkan Allah muncul dalam bentuk benda.

Kita sampai pada tiga kesimpulan mengenai iman yang menolong kita mengerti betapa pentingnya iman dan kuasanya yang unik. Pertama, iman adalah bagian dari kodrat kekal Allah. Kedua, iman adalah kuasa kreatif yang melaluinya Allah menciptakan alam semesta. Ketiga, iman Allah diekspresikan dan menjadi efektif melalui firman yang Dia ucapkan.

Karena Allah menciptakan manusia dengan kemampuan untuk mempraktikkan iman, kita menemukan juga dalam manusia dua kemampuan lain yang berhubungan dengan iman: kemampuan untuk menciptakan dan kemampuan untuk berbicara. Signifikan bahwa dua kemampuan yang Allah berikan kepada manusia ini membedakan antara manusia dan binatang.

Karena kodratnya, manusia memiliki kemampuan kreatif. Ia bisa membayangkan atau memimpikan sesuatu yang belum pernah ada; lalu ia bisa merencanakannya dan menjadikannya. Manusia terus-menerus menciptakan.

Kemampuan kreatif manusia adalah kemampuan manusia untuk berbicara. Tanpa ini, manusia tidak akan bisa merumuskan dan mengekspresikan tujuan kreatifnya. Kapasitas manusia untuk berbicara dengan cerdas dan pandai mengutarakan pikirannya tidak dimiliki binatang. Aspek istimewa manusia ini serupa dengan Allah.

Kita melihat bahwa manusia, seperti pada awalnya diciptakan, memiliki tiga aspek kodrat Allah sendiri, yaitu kemampuan mempraktikkan iman, kemampuan untuk berbicara, dan kemampuan untuk menciptakan.

Karena sudah berbagi dengan manusia kemampuan‐Nya untuk mempraktikkan iman, Allah mensyaratkan manusia untuk melakukannya. Akibatnya, ketika menciptakan manusia, Allah menaruh manusia dalam situasi di mana iman dibutuhkan. Catatan Alkitab memperjelas bahwa Allah, sebagai Pribadi, tidak tinggal secara permanen dengan Adam di Taman Eden. Sebaliknya, Dia meninggalkan pengganti untuk kehadiran pribadi-Nya—firman-Nya. Iman menghubungkan kita dengan dua realitas yang tidak kelihatan—Allah dan firman-Nya. Ini hubungan yang Adam miliki. Dia memiliki hubungan pribadi langsung dengan Allah, tetapi ketika Allah tidak hadir secara pribadi di Taman Eden, Adam diharuskan berhubungan dengan Allah melalui firman yang Dia tinggalkan dengannya.

Dicatat dalam Kejadian 2:15–17:

Ayat 15, TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.

Ayat 16, Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,

Ayat 17, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”

Ayat 16 dan 17 mengandung kata-kata yang Allah ucapkan kepada Adam. Terdiri dari tiga bagian: pertama, izin; kedua, larangan; ketiga, peringatan. Izin: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas ….” Larangan: “tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah engkau makan ….” Terakhir, peringatan: “… sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Itu tiga kata Allah kepada Adam: izin, larangan, dan peringatan.

Selama manusia hidup benar berhubungan dengan Allah melalui firman-Nya, ia diberkati dan aman. Iblis tidak bisa menjamahnya. Namun, Iblis bertekad memisahkan manusia dari Allah dan menghilangkan darinya berkat-berkat-Nya. Dengan kelicikan dan tipu daya, Iblis tidak mulai langsung menantang hubungan Adam dengan Allah, tetapi ia mencoba meragukan firman Allah kepada Adam. Lebih jauh, ia mendekati Adam melalui “pribadi yang lebih lemah”—Hawa.

Pertemuan awal antara Iblis dan Hawa digambarkan dalam Kejadian 3:1–3,

Ayat 1, Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?”

Ayat 2, Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kamu makan,

Ayat 3, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah‐tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.”

Dalam strateginya menipu Hawa, Iblis tidak mulai langsung menyangkal firman Allah—itu akan menjadi terlalu jelas. Ia mulai dengan hanya mempertanyakannya: “Tentulah Allah berfirman ….?” Hawa kalah dalam pertempuran saat ia merespons pertanyaan itu. Jika kita ingin mempertahankan hubungan kita yang benar dengan Allah, ada beberapa pertanyaan dalam pikiran kita yang harus kita tutup. Namun, Hawa memercayai keputusannya sendiri. Ia merasa bahwa ia memiliki kemampuan untuk menandingi ular yang cerdas dan menawan itu, yang mendekatinya di Taman Eden. Akar kesalahan Hawa adalah keyakinan kepada dirinya

sendiri.

Strategi Iblis selanjutnya dicatat dalam Kejadian 3:4, “Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: ‘Sekali-kali kamu tidak akan mati ….’” Setelah pertama merespons pertanyaan Iblis, Hawa tidak lagi memiliki kuasa untuk melawan penyangkalannya.

Namun demikian, strategi Iblis belum lengkap. Untuk mengerti tujuan akhirnya, kita perlu mengingatkan diri kita dua kesimpulan yang kita bisa baca dalam pasal 5. Pertama, tujuan akhir iman yang benar adalah Allah sendiri. Jika kita sampai kehilangan iman kita kepada Allah sebagai Pribadi, kita pada akhirnya juga akan kehilangan iman kita akan firman-Nya. Kedua, jika kita memiliki iman, tanpa meragukan kebaikan Allah, hikmat Allah, dan kuasa Allah untuk memelihara kita, kita tidak akan memiliki keinginan untuk berbuat dosa. Iblis bekerja sesuai prinsip-prinsip ini. Saat itu Iblis berhasil membuat iman Hawa meragukan firman Allah. Selanjutnya ia membuat iman Hawa meragukan Allah. Ia berhasil dengan mengatakan, “Tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kejadian 3:5).

Dalam konteks ini, kata-kata Iblis diarahkan agar tidak memercayai itikad Allah dalam memelihara Adam dan Hawa. Menyindir secara tidak langsung bahwa Allah Pribadi lalim yang sewenang-wenang, mencoba membuat mereka merasa berada dalam keadaan tidak layak. Kita bisa mengatakan dengan cara berbeda tentang tuduhan Iblis terhadap Allah seperti berikut: “Apakah kamu pikir Allah benar-benar mengasihi kamu? Tidak! Apakah kamu tidak tahu Dia menaruh kamu di taman ini untuk mengendalikan kamu? Kamu tidak lebih baik daripada budak. Sekarang jika kamu makan dari pohon itu, segalanya akan menjadi beda! Kamu tidak perlu bergantung pada Allah lagi; kamu akan menjadi seperti Allah.”

Ini pada akhirnya meyakinkan Hawa yang membuatnya memutuskan hubungan dengan Allah. Ia sudah melepaskan keyakinannya akan firman Allah. Sekarang ia melepaskan keyakinannya kepada Allah. Sebagai ganti dari melihat semua bukti yang kelihatan di sekelilingnya dari kasih dan kebaikan Allah yang ia tidak bisa lihat, ia mulai menerima gambaran sinis Iblis sebagai pribadi lalim yang sewenang-wenang dengan tujuan menaruh dirinya dan suaminya dalam keadaan—rendah diri—jauh di bawah potensi mereka. Melalui makan dari pohon terlarang, potensi terpendam mereka untuk menjadi setara dengan Allah akan langsung dibebaskan! Apakah ada motivasi yang lebih tinggi daripada keinginan untuk menjadi sama seperti Allah?

Menyerahnya Hawa dicatat dalam Kejadian 3:6, “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama‐sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya.”

Kata kuncinya di sini “melihat”. Hawa “melihat buah pohon ….” Kata melihat menunjukkan transisi dari satu alam ke alam lainnya. Pada titik ini, Hawa melepaskan imannya pada alam Allah yang tidak kelihatan dan firman-Nya. Sebagai gantinya, ia digerakkan oleh apa yang ia lihat. Ia mulai bergantung pada panca indra fisiknya. Ia turun dari alam iman ke alam panca indra. Dalam alam yang lebih rendah ini, pohon tersebut memiliki tiga ciri yang menarik Hawa: buah pohon itu baik untuk dimakan; sedap kelihatannya; menarik hati karena memberikan pengertian.

Dalam 1 Yohanes 2:15–16 Rasul Yohanes mendaftar tiga bentuk pencobaan:

Ayat 15, Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu.

Ayat 16, Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia.

Daya tarik dunia, dalam terminologi Allah terdiri dari tiga elemen, yaitu keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Dalam Alkitab, “hawa nafsu” biasanya menunjukkan hasrat besar yang menyesatkan dan merusak dan yang tidak takluk pada standar kebenaran Allah. Dua bentuk pertama pencobaan yang didaftar oleh Yohanes adalah jenis hasrat yang memengaruhi manusia melalui panca indranya. Bentuk pencobaan ketiga memengaruhi ego atau jiwa manusia. “Keangkuhan hidup” adalah dorongan dalam diri manusia yang menolak untuk mengakui ketergantungan dirinya kepada Allah, dengan keinginan meninggikan dirinya. Bukti-bukti itu dapat ditemukan dalam ekspresi frasa seperti “saya dapat mengatur hidup saya sendiri … saya tidak perlu bergantung pada Allah … Kenapa saya harus lebih rendah?”

Ketika Yesus di belantara, Dia berkonfrontasi dengan tiga pencobaan ini (Lukas 4:1–13). Iblis mencobai Dia untuk mengubah batu menjadi roti—keinginan daging. Lalu ia menunjukkan kepada Dia seluruh kerajaan dunia dengan kuasa dan kemuliaannya—keinginan mata. Terakhir, Iblis mencobai Yesus untuk menjatuhkan Diri-Nya dari puncak bait agar melakukan mukjizat dengan inisiatifnya sendiri yang akan memuliakan diri-Nya sendiri, tanpa berserah kepada kehendak Bapa atau mencari kemuliaan Bapa, menunjukkan keangkuhan hidup.

Ada beberapa perbandingan yang menarik antara pencobaan Adam dan pencobaan Yesus, dalam 1 Korintus 15:45 disebut “Adam terakhir.” Adam menghadapi pencobaan di taman yang indah, dikelilingi dengan segala bukti pemeliharaan kasih Allah. Yesus menghadapi pencobaan-Nya di belantara gersang, tanpa teman dan hanya binatang (Markus 1:13). Adam kalah dalam pencobaan dengan memakan buah pohon terlarang; Yesus mengalahkan pencobaan-Nya dengan berpuasa. Implikasi dari perbandingan ini besar dan dalam.

Kembali ke pertemuan Iblis dengan Hawa, kita mengamati buah pohon terlarang mempresentasi Hawa dengan tiga bentuk pencobaan. Meningkatkan seleranya—nafsu kedagingan. Membuat sedap kelihatannya—keinginan mata. Memengaruhi egonya dengan janji akan mendapatkan pengertian dan membebaskan dia dari ketergantungan kepada Allah—keangkuhan hidup.

Intinya, dosa tidak melakukan sesuatu yang salah. Dosa adalah keinginan menjadi independen dari atau tidak bergantung kepada Allah. Ketika keinginan ini timbul dalam diri kita, ada bahaya spiritual. Dalam kasus Hawa, cara ia ingin menjadi independen adalah melalui pengetahuan—tahu tentang yang baik dan yang jahat. Ini satu cara di mana pada umumnya manusia ingin menjadi independen dari Allah. Cara lainnya, kekayaan, ketenaran, atau kekuasaan. Salah satu dari yang paling halus di antara semua adalah agama. Kita bisa menjadi begitu agamawi sehingga kita tidak memerlukan Allah lagi.

Dimotivasi oleh keinginan Hawa untuk menjadi independen, ia mengganti keyakinannya dari firman Allah ke panca indranya. Akibatny,a ia takluk dalam tiga pencobaan pohon terlarang dan mengambil bagian dari buahnya. Lalu, ia menggoda suaminya untuk melakukan hal yang sama dan mereka berdua di asingkan dari Allah karena ketidaktaatan mereka.

Dalam menganalisis Kejadian 3:1–6, kita bisa meringkas kodrat pencobaan sebagai berikut. Iman dalam alam Allah dan firman-Nya yang tidak kelihatan, alamiah bagi manusia; ketidakpercayaan menyesatkan dan tidak alamiah. Pencobaan memisahkan manusia dari iman alamiahnya kepada Allah dan firman-Nya. Sebagai gantinya, manusia berpindah dengan menggunakan panca indra fisiknya. Akar setiap pencobaan adalah ketidakpercayaan. Motif yang dieksploitasi adalah keinginan menjadi independen dari Allah. Akibat yang dihasilkan adalah ketidaktaatan kepada Allah.

Iman bekerja dalam arah yang berlawanan dengan pencobaan. Iman mensyaratkan manusia menolak keyakinan pada panca indra dan ambisi ego meninggikan dirinya, independen dari Allah. Sebaliknya, iman menekankan kembali ke supremasi dan keagungan alam Allah dan firman-Nya yang tidak kelihatan dan mensyaratkan ego manusia untuk merendahkan dirinya dan mengakui ketergantungannya kepada Allah. Karenanya, iman membatalkan efek-efek kejatuhan manusia dalam dosa dan membuka jalan baginya untuk kembali ke dalam hubungan awalnya dengan Allah.

Dikonfrontasi dengan syarat iman oleh Allah di satu pihak dan dengan tuntutan-tuntutan dari panca indranya di lain pihak, manusia menemukan dirinya berada dalam dilema, berada dalam ketegangan antara dua kekuatan yang berlawanan. Dua kutub yang berlawanan dari ketegangan ini ada dalam Habakuk 2:4, “Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” Seperti kita catat, bagian kedua dari ayat ini dikutip tiga kali dalam Perjanjian Baru, menjadi dasar Alkitab untuk dijustifikasi dan dibenarkan oleh iman, bukan perbuatan. Namun, kita baru bisa melihat seluruh lingkup dilema ayat Habakuk ketika kita meletakkan kedua bagian dari ayat tersebut saling berlawanan. Yang satu meniadakan yang lain.

Bagian pertama dari ayat Habakuk menggambarkan jiwa manusia dalam pemberontakannya melawan Allah. Dalam versi Yahudi ditulis, “Lihat, jiwanya sombong, tidak lurus dalam dirinya ….” Sesuai dengan yang Yohanes katakan, “Keangkuhan hidup”, kita bisa mengunakan kata sama yang lain, “Jiwa yang meninggikan dirinya menyesatkan.” Ego manusia, ingin meninggikan dirinya, menolak tuntutan-tuntutan Allah dan firman-Nya, dan lebih memilih sebaliknya, memercayai panca indranya, berusaha sendiri, dan berjuang keras menjadi independen dari Allah.

Bagian kedua dari ayat Habakuk menggambarkan sebaliknya. Manusia yang menjadikan iman sebagai dasar hidupnya merendahkan dirinya di hadapan Allah, menerima firman Allah sebagai standar dan menolak keyakinan pada dirinya sendiri dan panca indranya. Panca indra menarik bagi manusia yang independen, meninggikan egonya, tetapi iman merendahkan ego manusia, dengan berkata, “Kamu tidak independen. Kamu harus bergantung kepada Allah. Kamu bisa memercayai panca indramu hanya sejauh itu sesuai dengan firman Allah. Standar akhir betul atau salah, mengenai kebenaran dan kesalahan, bukan apa yang panca indra kamu katakan, melainkan apa yang Allah katakan dalam firman-Nya.”

Jadi, iman menyingkirkan landasan di mana terjadinya kejatuhan manusia. Kejatuhan manusia membuat manusia ditawan oleh alam panca indranya: “Hawa melihat bahwa pohon itu baik….” meninggikan ego manusia: “Kamu akan menjadi seperti Allah.” Segala sesuatu yang meninggikan diri sendiri harus dibatalkan jika kita ingin hidup dalam kebenaran untuk menyenangkan Allah. Bagaimana membatalkannya? Dengan prinsip iman. Iman menolak dominasi panca indra dan keangkuhan jiwa yang meninggikan dirinya.

Dalam Roma 3:27 Paulus menunjukkan bahwa iman yang benar bertentangan dengan kesombongan: “Jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman!” Bentuk apa pun dari perasaan agamawi atau aktivitas yang memberikan tempat bagi manusia menjadi independen, egoisme yang meninggikan diri, bukan ekspresi iman alkitabiah yang valid.

Jadi, ada dua cara hidup. Pertama, manusia menolak bergantung kepada Allah, mengandalkan dirinya dan panca indranya. Kedua, manusia menolak keyakinan kepada dirinya dan panca indranya, dan menyadari panca indranya tidak bisa mengerti—Allah dan firman-Nya. Hanya iman yang bisa membawa kita kembali ke prinsip kebenaran berdasarkan percaya kepada Allah dan firman-Nya yang memampukan kita untuk hidup menyenangkan Allah. Iman adalah penangkal kejatuhan manusia dalam dosa.

 

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply