Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Yesus dan Politik (Part XI)




eBahana.com – “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi, Aku datang bukan untuk membawa damai tetapi Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya.”

Kalau kita membaca ayat di atas, Yesus terkesan kejam dan sadis, tetapi mengapa dalam ayat ini Dia mempresepsikan karakter yang demikian? Dalam masa Ia hidup dan melayani, Ia sedang menghadapi orang-orang yang individualis dan munafik, baik pribadi maupun keluarga serta golongan, seperti orang farisi dan orang Saduki serta petinggi agama Yahudi yang lain. Di tengah-tengah kehidupan struktur sosial kemasyarakatan, struktur lembaga keagamaan, politik dan hukum yang sudah terlanjur carut-marut seperti ini membutuhkan sosok pembaharuan karena bangsa Israel sedang mengalami degradasi di semua bidang khususnya moral spiritual sehingga wajar apabila Yesus berkata, “ Aku datang bukan untuk membawa damai tetapi ingin memisahkan orang tua dengan anak, memisahkan  seorang ibu dengan anak perempuannya dan seorang menantu perempuan dengan mertua perempuan. Apa yang dikatakan oleh Yesus adalah bentuk revolusi mental, revolusi sosial budaya, dan melakukan revolusi politik dan hukum. Menghadapi bangsa Israel yang tegar tengkuk dan tidak punya prinsip serta idealisme memang harus mengambil langkah tegas dan progresif revolusioner, sebab di dalam realita yang membuat lambatnya arus balik reformasi adalah pikiran pikiran feodal yang ada dalam diri generasi tua yang kena penyakit power syndrome sehingga menganggap belum perlu adanya regenerasi di berbagai bidang kehidupan dan birokrasi pemerintahan. Generasi tua masih menganggap bahwa generasi muda belum siap menerima estafet kepemimpinan dengan alasan pengalaman dan pengetahuan belum cukup. Tetapi bagaimana bisa memiliki pengalaman apabila tidak segera diberi kesempatan.

“Dan musuh orang adalah orang-orang seisi rumahnya.” Ayat ini menegaskan tentang bagaimana seorang akan bisa mengalami kegagalan dalam hal apapun disebabkan karena tidak ada dukungan dari keluarganya. Bahkan mereka cenderung menjatuhkan mental dan semangat perjuangan untuk meraih semua cita dan pengharapannya. Hal di atas juga tidak menutup kemungkinan juga dialami oleh para pengikut Kristus, sebab mereka belum sepenuhnya menyerahkan seluruh hidupnya kepada Dia tetapi mereka masih mengandalkan pikiran-pikiran dan tindakannya mendasarkan pada kehendak sendiri. Dalam kegiatan apapun keluarga itu adalah basis dukungan utama. Apabila kita memiliki keinginan untuk melakukan suatu kegiatan termasuk untuk menjadi seorang politikus maka yang harus mendukung secara total baik mental dan spiritual itu keluarga. Terkadang justru bertindak sebaliknya yaitu berperilaku sebagai musuh yang menjegal segala usaha yang akan dilakukan oleh salah satu keluarganya sendiri.

“Barangsiapa mengasihi bapak atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku, barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku ia tidak layak bagi-Ku.

Memang orang tua, bapak dan ibu adalah yang menjadi perantara kita ada di bumi sangat manusiawi apabila kita sangat menghormati dan menyayangi. Tetapi kita juga harus sadar bahwa pemberi kehidupan manusia adalah Tuhan. Sejak kita mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan dan juru selamat maka kita tidak berhak atas diri kita lagi tetapi secara sah dan mutlak sudah menjadi milik-Nya. Oleh karena kita tidak berhak atas diri sendiri, tetapi harus pasrah dan menyerah kepada tangan kuat kuasa-Nya dan kuat tangan-Nya, mau dibentuk menjadi apa saja terserah yang empunya kita. Dalam hal ini orang tua saudara saudara kita pun tidak berhak. Untuk urusan yang satu ini kita harus meneladani Abraham, ketika dia dan Sarah istrinya dipanggil untuk pergi ke tempat di mana ia belum tau tetapi dia tetap pergi meninggalkan orang tua, saudara tanah warisan dan yang lainya untuk menjawab panggilan Dia.

Secara akal sehat manusia ketika kita disuruh pergi meninggalkan orang tua saudara dan semua warisan ketempat yang belum jelas di mana tempatnya, bagaimana masyarakatnya, bagaimana dengan masa depanya, pasti kita berkata, tidak mau!

Tetapi mengapa Abram itu mau dan tidak melakukan tawar menawar apapun dengan Tuhan atau membantah sedikit pun terhadap perintah Allah. Abraham itu bisa disebut anomali sosial dan religius ditengah-tengah  masyarakat yang bobrok secara ekonomi, sosial, politik dan hukum tiba-tiba muncul manusia yang bernama Abraham yang mempunyai pandangan dan pemikiran yang berbeda dengan yang lainnya sehingga dia disebut bapa orang beriman.

Anomali ternya tidak hanya di prakiraan cuaca saja tetapi juga bisa di bidang pekerjaan apapun, termasuk politik, beranikah sebagai politisi kristiani kita bisa membawa anomali politik, ditengah masyarakat yang demam dengan jargon politik uang. Beranikah para politisi dan para pengikut Kristus membawa jargon politik tanpa mahar dan demokrasi berbiaya nol rupiah. Jika orientasinya perubahan sistim demokrasi dan perbaikan nasip rakyat dan indonesia ke depan harus berani melakukan hal itu. Tetapi kalau orientasi politiknya kekuasaan, keuangan ya harus dengan mahar politik. Bagaimana gereja dan para pengikut Kristus pilih yang mana, yang tanpa mahar atau politik uang. Markus Sulag



Leave a Reply