Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Sorbum




Sorbum! Slogan sebuah kampus yayasan kristen yang saya dengar saat menghadiri acara wisuda, pada akhir November lalu. Sorbum merupakan singkatan dari “Sorga Bumi”. Slogan ini berisi harapan, agar kehidupan di bumi seperti di dalam sorga. Dengan ilmu yang telah mereka peroleh, wisudawan dan wisudawati diharapkan mampu mempergunakannya menjadi berkat: menghadirkan damai sejahtera di bumi seperti di sorga.

Memasuki bulan Desember, slogan serupa didengungkan gereja-gereja. Dalam rangka menyambut Natal, gereja diajak untuk mewujudkan damai di bumi seperti di sorga. Praktiknya, menyambut Natal banyak gereja semakin sibuk dengan berbagai acara. Mengadakan rapat persiapan Natal, merencanakan anggaran, membicarakan konsumsi serta doorprize. Menghias gedung gereja. Membuat seragam baru. Semakin giat berlatih paduan suara, drama, menari, musik atau fragmen.

Pusat perbelanjaan pun tak mau ketinggalan. Menghias gedung dengan dekorasi bertema Natal. Memasang lampu dan ornamen warna-warni. Memutar musik rohani. Memberikan diskon besar-besaran. Semua dilakukan dalam rangka menyambut Natal, katanya.

Tanpa sadar kebiasaan ini semakin membudaya di tengah kehidupan orang percaya. Arus zaman menyeret dan memenjarakan orang dalam gaya hidup yang konsumtif dan hedonis. Mengidentikkan Natal dengan gedung yang megah, dekorasi yang indah dan mewah, perayaan yang spektakuler dan meriah, pesta-pora, pakaian baru dan doorprize atau hadiahyang mahal.

Akibatnya, sebagian orang merasa belum siap menyambut Natal jika tidak menghias rumah sedemikian rupa, atau belum menyediakan hidangan istimewa. Merasa tidak percaya diri jika harus menghadiri ibadah dan perayaan natal dengan baju yang lama. Di sisi lain, mereka yang tak mampu mengikuti gaya hidup semacam ini semakin termarginalkan, tersisih dari persekutuan.

Menyambut dengan pesta-pora seseorang yang istimewa mungkin dipandang sebagai hal wajar. Namun pernahkah kita bertanya kepada Yesus Kristus – selaku tokoh utama dalam pesta kita – tentang apa dan bagaimana sesungguhnya yang Dia ingin supaya kita lakukan dalam menyambut dan merayakan hari-Nya?

Jangan-jangan tanpa kita sadari hiruk-pikuk natal membuyarkan esensi yang sesungguhnya. Menenggelamkan kita dalam pesta-pora namun mengabaikan makna kehadiran-Nya. Membuat kita mabuk dengan kemewahan sehingga fokus kita ada pada kepuasan diri, bukan kemuliaan Tuhan.

Natal hadir dalam kesederhanaan. Natal mengajar kita rela mengosongkan diri, rela berkorban demi menyatakan kebenaran, kasih dan ketaatan kepada Allah. Natal memberikan peluang bagi kita untuk mendapatkan kemerdekaan dalam kekudusan, bukan belenggu dosa serta hingar-bingar dunia.

Dengan demikian menyambut dan merayakan Natal tidak cukup dilakukan secara jasmani. Kita perlu berbenah secara rohani. Sebab Allah memandang hati dan motivasi, jauh melebihi manusia yang hanya mampu menilai berdasar semua yang kasat mata. Karena itu penting bagi kita membenahi hati dan pikiran supaya bersih dari “sampah-sampah” yang mengotorinya. Kesombongan, iri hati, dengki, marah, geram, dendam, kejahatan, kata-kata kotor, fitnah, kemunafikan, keserakahan, percabulan, hawa nafsu, perseteruan, kepentingan diri-sendiri, kemabukan, roh pemecah, pesta- pora, dan penyembahan berhala. Membuka hati selebar-lebarnya bagi kuasa Roh Kudus supaya hidup kita diperbarui dan menghasilkan buah-buah yang berupa kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri.

Mengaku sebagai pengikut Kristus berarti siap memberi diri meneladan hidup-Nya. Meneladan kesederhanaan-Nya, kerelaan-Nya mengorbankan diri demi memerjuangkan kebenaran, kasih dan kesetiaan kepada Bapa. Jika Yesus sungguh telah lahir dalam hati kita, sudah pasti Dia menjadi hikmat bagi kita dalam menjalani hidup ini. Karena ketika manusia menyerahkan hidup dalam pemerintahan Allah, saat itulah damai sejahtera surgawi melingkupi bumi. Sorbum!

 

Oleh Endang Lestari



Leave a Reply