Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

NATAL KETIGA




Oleh Y.E. Marstyanto

 

“Wah, kamu sudah pasang pohon natalnya? Kenapa nggak tunggu Papa datang?”

Naldi menengok ke arah suara yang baru saja datang itu. Ia memandang Bandrio yang baru saja tiba di rumah dengan tersenyum.

“Ah, biar saja. Lagipula aku lebih dulu sampai di rumah daripada Papa,” ucap Naldi sambil ia terus menghias pohon natal.

Bandrio, lelaki yang dipanggil Papa oleh Naldi itu menyandarkan punggung di sofa yang menghadap ke pohon natal. Wajahnya tampak kusut dan lelah setelah ia berkeliling mengantar dagangannya.

“Banyak orderan hari ini, Pa? Kok pulangnya sampai sore?”

“Puji Tuhan! Ada tujuh rumah aku datangi hari ini.”

“Wah, laris nih ye! Mereka pesan baso semua? Sosis juga?”

Bandrio sudah memiliki usaha berjualan bahan makanan siap olah sekitar 3 tahun ini. Usaha kecil ini ia jalankan sejak ia tidak lagi bekerja di sebuah perusahaan. Ia menawarkan dagangannya lewat media sosial dan ia melayani jasa antar barang.

“Oke! Selesai!”

Bandrio menoleh ke arah pohon natal plastik yang sudah dipenuhi berbagai hiasan dan lampu. Ia mengangguk-angguk sambil tersenyum ke arah Naldi, anak lelaki sulungnya itu. Naldi sudah lulus SMA sejak dua tahun lalu. Sebenarnya ia ingin kuliah tetapi Bandrio tidak cukup memiliki uang membiayainya. Naldi memutuskan bekerja tetapi ia tetap menyimpan cita-cita untuk kuliah.

“Kalau begitu saya kerja dulu, Pa. Nanti tabungan hasil kerja ini buat kuliah.”

Saat itu, Bandrio sempat keberatan dengan keputusan Naldi itu. Tetapi ia tidak berdaya mencegah keinginan anaknya, sementara ia sendiri juga tidak mampu.

“Ini kopinya, Pa.”

Bandrio menatap secangkir kopi yang disediakan oleh Naldi. Ayah dan anak ini memang mempunyai kebiasaan duduk bersama di teras rumah pada sore hari. Mereka berdua menikmati minuman hangat sambil mereka melepas penat setelah bekerja sepanjang hari. Urusan mandi? Belakangan setelah obrolan sore seperti ini mencapai klimaksnya.

“Pacarmu?”

Tiba-tiba Bandrio melepaskan pertanyaan yang mengagetkan Naldi. Anak muda 19 tahun itu terbatuk nyaris tersedak saking terkejutnya dengan pertanyaan.

“Pacar? Hahaha…..saya kan sudah bilang, Pa? Saya mau konsentrasi kerja biar tabungan banyak terus kuliah!”

“Maksudmu nggak ingin terganggu dengan pacar? Ya, cari pacar yang pengertian dong?”

Mereka berdua tertawa. Ayah dan anak itu memang cenderung menciptakan hari-hari mereka suka cita. Mereka sudah terlalu lama mengalami pengalaman hidup yang tidak indah. Mereka pernah berada dalam suasana kehidupan gelap sebuah keluarga.

Bandrio pernah memiliki posisi bagus dalam pekerjaan di sebuah perusahaan makanan olahan terkemuka. Karirnya terhitung mulus. Ia mulai merangkak sebagai staf, supervisor hingga salah satu manajer di perusahaannya. Keluarganya juga menikmati kesuksesan itu. Ia bersama istri dan anaknya bisa berlibur ke luar negeri sekali setiap tahun. Semua kebutuhan hidup lebih dari cukup bagi Bandrio sekeluarga. Tetapi ketika kepuasan keluarga terpenuhi, ia tergoda mencari kepuasan lain. Wanita. Ya, dia jatuh hati pada salah satu staf baru di perusahaan. Awalnya Bandrio hanya iba pada seorang wanita muda yang harus bekerja keras karena sang suami menganggur di rumah. Lalu, rasa iba itu membangkitkan emosi lain yang mengarahkan mereka pada perbuatan terlarang.

“Gimana Mama, Pa?” Naldi ganti bertanya.

“Tahun ini bisa jadi Natal ke-3 tanpa Mama. Aku sudah terus mencoba menghubungi tetapi ia masih enggan bicara. Aku maklum. Aku telah membuatnya sangat marah.”

Perselingkuhan itu telah membuat karir dan pekerjaan Bandrio kacau. Ia terlibat pengelapan uang di kantor hanya untuk ia bisa memenuhi kebutuhan WIL-nya. Beruntung perusahaan tidak memperkarakannya secara hukum. Perusahaan hanya memecat tidak hormat pada Bandrio. Saat ia kehilangan pekerjaan, maka ia kehilangan istrinya, Maria. Sang istri memilih pergi meninggalkan Bandrio setelah ia mengetahui borok suaminya itu.

“Aku sebenarnya juga sakit hati karena Papa sering mengabaikan aku saat aku remaja. Tapi aku memilih mengampuni Papa.”

“Hmmm….aku mengucap syukur pada Tuhan punya anak sepertimu. Tapi Mama berbeda. Istri itu berbeda dengan anak. Kelak kamu akan tahu saat kamu menikah. Sehingga jika salah satu menyakiti, maka……”

“Tapi Papa sudah bertobat bukan? Mengapa Mama tidak mau kembali berkumpul bersama kita lagi?”

“Belum saatnya. Tuhan mungkin masih memberi waktu buat Mama, mungkin juga aku dan kamu buat merenungkan peristiwa kelam dalam keluarga kita.”

“Sampai tiga kali Natal ini?”

“Bisa jadi. Bisa juga 4, 5, 6….berapa kali Natal.”

“Kenapa apa aku tidak butuh waktu lama untuk mengampuni, Papa?”

“Aku yakin hatimu paling dalam sudah ada niat pengampunan itu, sehingga Tuhan tinggal melakukan bagianNYA untuk mewujudkannya.”

‘Bagaimana dengan Mama?”

“Tuhan juga sedang mengerjakan bagianNYA saat ini. Aku yakin Mamamu juga sedang melakukan bagiannya.”

“Bagaimana jika Mama tidak mau mengampuni?”

Tilulittilulit!!!! Bandrio mengangkat telepon genggamnya. Ia tampak berbicara dengan seseorang di ujung telepon sana. Naldi penasaran karena wajah Bandrio tampak sedikit tegang. Bandrio menghela nafas setelah ia menutup pembicaraan di telepon.

“Mamamu ada di rumah sakit. Dulu sempat punya benjolan di payudara dan sudah diangkat. Belakangan kabarnya tumbuh lagi, dan ia sedang menunggu operasi.”

Selama ini, Bandrio memang berusaha mengajak pulang Maria, tetapi istrinya selalu menolak. Bahkan ia sering menghindari pertemuan dengan Bandrio. Dari pertemuan-pertemuan yang tidak selalu berhasil itulah, Bandrio sebenarnya tahu istrinya mengalami masalah di payudaranya lagi.

“Wah artinya kita bisa merayakan Natal bersama, Pa? Tapi, sayang harus berkumpulnya di rumah sakit.”

“Kenapa? Bukan tempat yang tepat? Bukankah sejarah Natal pertama juga bukan di sebuah tempat yang nyaman?”

Naldi mengembangkan senyum di bibirnya. Bandrio menatap anaknya itu dengan senyum. Ayah dan anak itu pun membayangkan senyum Maria yang sedang terbaring di rumah sakit. (yem)



Leave a Reply