Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Mempersiapkan Paskah di Masa Pandemi, Belajar dari ‘El Salvador’




eBahana.com – Corona Virus disinyalir masuk Indonesia sejak Januari. Karakteristik komunal orang Indonesia membuat jumlah pasien meningkat pesat. Di masa pandemi, rumah ibadah mengurangi jam operasionalnya. Gerakan #DiRumahAja memberi umat peluang untuk memasuki masa Sabatikal dan ibadah bertransisi dari kongregasi kepada kontemplasi.

Banyak yang bertanya, ”Jika Tuhan baik, mengapa Ia membiarkan ini semua terjadi?” Respons paling akurat:Tidak tahu. Di masa segenting ini, pada tataran praktis pertanyaan tersebut idealnya dijawab dengan kasih yang mewujud dalam doa serta bantuan kasat mata.

Pandemi memberi umat Kristen kesempatan untuk menjadi perpanjangan tangan Yesus.

Oscar Romero adalah  uskup  yang pada 1980 ditembak mati karena membela rakyat miskin   dari penindasan pemerintah El Salvador.  Pembunuhnya adalah lingkaran dalam Roberto D’Aubuisson, kepala pasukan tembak mati. Ia tak tersentuh hukum dan partainya bahkan  menguasai negara dari 1989 hingga 2009.

Dalam Kristen Katolik, beatifikasi adalah tahap pertama yang harus dilalui agar seseorang dapat ditetapkan sebagai santo. Misa beatifikasi bagi Romero diadakan tahun 2015. Keluarga D’Aubuisson duduk di kursi VIP. Hadir juga Alfredo Cristiani, inisiator surat permohonan yang isinya meminta agar pembunuhan Romero tidak diusut.

Kekejaman adalah bagian penting dari sejarah El Salvador. Tahun 2018, negara ini  memiliki tingkat pembunuhan tertinggi sedunia. Adapun salah satu gank yang paling ditakuti di Amerika adalah MS 13 yang didirikan para imigran El Salvador.

El Salvador lantas jadi ironis dan kontradiktif. Kultur kekerasan mereka berbanding terbalik dengan nama El Salvador yang  berarti “The Saviour” atau “Juru Selamat.” Menurut The World Fact Book, buku terbitan Central Intelligence Agency (CIA), nama tersebut diambil dari bahasa Spanyol sebagai bentuk penghormatan terhadap Yesus Kristus.

Apakah hal yang sama terjadi di dalam kekristenan, umat mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus namun sebagian dari kita akrab dengan ketamakan?

Cukup banyak gereja yang diam saja di masa pandemi ini. Di level institusi, memperlambat laju penyebaran virus dengan mengadakan ibadah online sudah membuat  gereja-gereja itu merasa berkontribusi  dengan signifikan. Pada tataran personal, ada orang-orang Kristen yang sudah merasa puas dengan berdoa dan sesekali pesan order ekstra untuk tukang ojek.

“Pandemi ini  adalah  panggilan Tuhan agar kita menjalani hidup secara berbeda,”ujar Paus Francis. “Mari kita memaknai ulang iman kita. Seharusnya kita tak hanya sekedar percaya bahwa Tuhan ada namun juga mempercayakan hidup kita kepada-Nya,”lanjut Paus.

Hanya berdoa idealnya dilakukan oleh mereka yang  punya keterbatasan khusus, stroke misalnya. Bagi yang sehat dan mampu, doa semestinya diiringi dengan pemberian minimal satu hal dari daftar berikut: Tenaga, ide, waktu, uang, atau benda. Kian tinggi kecerdasan dan jabatan yang dipunyai, semakin besar kekuasaan, jaringan kerja,  dan uang yang dimiliki, konsekuensinya adalah akan kian banyak dan semakin variatif kontribusi yang diberikan.

Lukas 12:48, “Mereka yang diberi banyak akan diminta banyak.”

Untuk kalangan menengah ke atas, gerakan #DiRumahAja pada satu sisi menghemat banyak pengeluaran. Ongkos transport, biaya hangout, uang jajan anak…

Jika PGI, KWI, atau GBI mengeluarkan himbauan agar minimal 50% pengeluaran rutin itu disumbangkan sampai kegiatan kembali normal, kira-kira apa ya reaksi umat? Sekali lagi, umat yang dimaksud adalah kita yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Apakah akan ada yang berkomentar, ”Nggak mau. Pengeluaran justru bertambah, lho. Order makanan jadi lebih sering dan rekening listrik melonjak?”

Padahal, sebentar  lagi kita merayakan Paskah. Mengenang penderitaan Yesus sambil memberi lebih dari biasanya akan memampukan kita untuk mencicipi sedikit kesusahan yang jenisnya di luar pola keseharian kita. Ini bisa menjadi latihan spiritual yang memperkuat otot iman.

Sulit?

Mengikut Yesus Kristus memang susah, ajaran-Nya kerap melawan natur manusia. “Di mana hartamu berada, di situlah hatimu berada,”kata-Nya. Orang percaya di zaman Yesus bahkan sampai menjual harta mereka untuk membantu sesama hingga tak ada satu pun orang miskin di tengah mereka (Kis. 4:34).

Adapun Zakheus berjanji akan memberikan setengah miliknya kepada orang miskin  dan  mengembalikan uang hasil  rampasan sebanyak empat kali lipat. Pertobatan ekonomi ini disambut Yesus dengan perkataan bahwa hari itu telah terjadi keselamatan (Lukas 19).

Menjadi pengikut Yesus identik dengan kemurahan hati.

Republik The Saviour alias El Salvador  memiliki kultur kekerasan yang kental. Sejak kapan The Saviour lekat dengan kekejaman?Akankah kita membiarkan penyimpangan makna yang bersifat substansial seperti ini  bersemayam dalam diri kita? Mengakui Yesus sebagai Juru Selamat tapi akrab dengan ketamakan? Sejak kapan Yesus identik dengan kerakusan?

Pandemi pada akhirnya bukan hanya perkara imun namun juga urusan iman.

Selamat berbagi. Selamat mempersiapkan Paskah.

Oleh Meicky Shoreamanis Panggabean, Dosen Universitas Pelita Harapan.



Leave a Reply