Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kebahagiaan Beribadah




Written by Fr. Sumarwan

 

Bergereja menjadikan diri seseorang masuk dalam komunitas suatu gereja. Beribadah menjadi ciri aktivitasnya yang terwujud dalam sikap lahir. Proses peribadatan dalam kemasan liturgi menentukan runtutnya aktivitas ibadah. Namun yang terpenting adalah bahwa ibadah menentukan makna iman dalam penghayatan. Masalah bagaimana perwujudan iman dalam setiap ibadah dan pelayanan kembali pada motivasi dan pengalaman masing-masing orang kristen, karena itu kesungguhan beribadah tergantung dari sikap batin.
Bila ada penilaian bahwa tingkat aktivitas orang bergereja akan menentukan kualitas iman dalam penghayatan, mungkin itu terlalu dini untuk menilai. Karena tidak ada jaminan bahwa jika seseorang semakin aktif dalam pelayanan dan rajin dalam kegiatan ibadah pasti memiliki kualitas iman yang tinggi.
Nyatanya, masih ada orang beribadah hanya ingin mencari pengakuan, yaitu kepuasan atau kebanggaan kalau diakui oleh gereja, lingkaran jemaat, bahkan oleh lingkungan hidupnya sebagai pribadi yang agamis, suci, dan beramal saleh. Atau, kalau kebutuhan akan pengakuan itu didapatkan dari tua tua, majelis, juga gembala di gereja tersebut, pasti ada sikap proaktif dan terdepan dalam pelayanan.

Bisa ditelisik dari setiap pelayanan demikian pasti tersembunyi motif pribadi, sehingga aktivitas pelayanan pun menjadi cacat moral. Artinya, kerajinan dalam pelayanan pun tidak mempunyai kualitas karena buruknya sikap hati. Tapi, siapapun tidak bisa menghakimi orang yang aktif dalam pelayanan sekalipun nampaknya ia mencari pengakuan. Karena yang tahu baik buruknya motif ia dalam melayani adalah dirinya.
Perlu digarisbawahi bahwa ciri-ciri lahiriah tidak bisa dijadikan ukuran untuk memastikan motif seseorang dalam pelayanan. Lagi pula tidak pada tempatnya menghakimi orang lain sementara Firman Tuhan pun melarang segala bentuk penghakiman. Lebih baik membiarkan seseorang rajin melayani apapun motif yang tersembunyi. Kalaupun ia hanya mencari pengakuan yang bercirikan kepentingan ego, pekerjaan pelayanannya pun tetap bermanfaat.

Prinsipnya, setiap pelayanan yang dikerjakan akan mempunyai dampak. Masalahnya berdampak positif atau negatif, itu kembali pada motif yang ada dalam sikap hatinya. Soal apakah dampak yang dirasakan itu nantinya menggembirakan, menyenangkan, atau sebaliknya, menyedihkan dan menyesakkan, namun seseorang yang menjalani pun akan mengalami tingkat kepuasan atau kebalikannya, yaitu kekecewaan.
Tentu ujungnya dikembalikan pada pribadi masing-masing bahwa masalah pelayanan dan kegiatan peribadatan pada umumnya adalah soal hakekat dan tujuan hidup pribadi untuk menikmati hadirat Tuhan karena Tuhan itu baik bahwasannya kasih setianya kekal selamanya, hingga mewujudkan ungkapan rasa syukur, memuliakan Tuhan, dan yang jarang dipikirkan manfaatnya, yaitu meraih kebahagiaan.

Kebahagiaan
Banyak orang mencari kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan menjadi tujuan hidup. Namun tidak sedikit yang frustasi mencari kebahagiaan karena salah persepsi tentang definisi kebahagiaan. Karena dengan menyangka bahwa kebahagiaan itu dikejar dengan menumpuk harta benda, mengejar status sosial, yang bahkan disebut serba sukses, orang pun berpandangan bahwa itulah kebahagiaan.
Konsep pemahaman kebahagiaan pun pasti berubah ketika yang sudah kaya kembali miskin, yang sudah meraih status sosial tinggi kembali jatuh. Kalau ukuran kebahagiaan ditentukan berdasarkan status ekonomi dan sosial, maka kehilangan status berarti kehilangan kebahagiaan. Kalau begitu, untuk mempertahankan kebahagiaan hanya bisa dilakukan bila tetap kaya dan semakin kaya dan tetap berstatus sosial tinggi bahkan makin tinggi. Berarti untuk mendapatkan kebahagiaan pun harus terus berjuang sampai lupa kalau ia sedang tidak bahagia ketika terus menerus bersusah payah mengejar kekayaan dan status sosialnya.

Lalu, yang juga menarik, ketika pusing dan bingung mempertahankan status ekonomi dan sosial tinggi untuk mempertahankan kebahagiaan, lalu ditempuh cara-cara tidak etis mencari upaya supaya tetap diakui sebagai orang kaya dan berstatus sosial tingi dengan melakukan pembohongan mungkin bahkan tindak kriminalitas. Haruskah menutupi kekurangan yang ada pada dirinya supaya tetap dianggap kaya dan berstatus sosial tinggi?
Tampaknya tidak ada bedanya orang mengejar kebahagiaan melalui kehidupan bergereja dengan atribut kesucian, kesalehan, dan keagamaannya bila disejajarkan dengan mengejar kebahagiaan melalui atribut kekayaan dan status sosialnya. Karena yang dikejar bukan kebahagiaannya tetapi pengakuannya. Dalilnya pun menjadi: Kebahagiaan hanya diraih melalui pengakuan diluar dirinya dan bila hilang pengakuan maka hilanglah kebahagiaan itu.

Bisa dimengerti kalau pengakuan itu tidak menunjang tercapainya kebahagiaan sejati kecuali hanya rasa senang dan puas. Ketika kehilangan pengakuan maka muncul kekecewaan dan sakit hati. Padahal sejatinya kebahagiaan itu tidak bergantung pada faktor pengakuan pihak manapun.
Jadi patut disyukuri kalau hidup bergereja dengan pelayanan dan kegiatan peribadatan pada umumnya tidak memerlukan pengakuan jemaat, tua-tua, majelis dan gembala. Itupun berlaku pula bagi setiap orang kristen untuk menjalani hidup dijagat raya ini dengan bekerja tekun berdisiplin tanpa mempedulikan diakui atau tidaknya status ekonomi dan sosial yang didapatkan dari bekerja.

Tidak ada yang salah mengejar harta duniawi dan status sosialnya di dunia sekuler. Juga tidak salah memegang banyak tanggung jawab di setiap pelayanan ataupun bahkan tidak mengambil pelayanan satupun di gereja selama tetap menyeimbangkan nilai-nilai kristiani dalam peribadatan dan dalam kehidupan kerja.
Yang penting nilai kristiani tercermin dari rasa syukur, kasih, tulus, dan kerendahan hati, supaya terus terpancar dalam kehidupan karena berkenan di hadapan Tuhan. Sebaliknya, perlu membuang jauh-jauh rasa ingin diakui orang lain karena itu hanya akan menjerat dirinya dengan sederet pencitraan yang sia-sia. Haruskah rajin beribadah hanya untuk sekedar diakui orang lain, atau mencari kekayaan dan status sosial supaya disegani?

Perlu kembali pada pemahaman tentang kegiatan beribadah sebagaimana tertulis dalam 1 Timotius 6:6 bahwa beribadah kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Tentunya, rasa cukup itu berlandaskan aspek kesetiaan dan ketulusan. Dan bila dikaitkan dengan konteks peribadatan yang sejati sesuai Roma 12:1, ada pesan supaya senantiasa mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup , yang kudus dan berkenan kepada Allah. Jadi soal sikap pelayanan dan beribadah kembali pada perkenanan Tuhan bukan pengakuan manusia.

Artinya, bukan saja hati dan pikiran menyatu dalam kekudusan saat berada di lingkungan gereja tetapi juga bersifat kudus dalam sikap dan perbuatan ketika ada di dunia sekuler. Suasana hati melayani yang terpancar di gereja juga harusnya terbawa juga di dalam dunia sekuler. Kalau perlu ciptakan suasana ibadah disetiap waktu dan tempat dengan tetap menjaga tingkat kesadaran akan hadirat Tuhan demi menjaga sikap kasih hingga pengendalian diri.

Dengan terus menerus menikmati hadirat Tuhan tentu akan melihat setiap persoalan sebagai peluang dan kreatif memanfaatkan akal budi untuk kemajuan kerja. Musibah apapun yang juga adalah persoalan yang menimpa dirinya juga akan cepat adaptif karena tidak ingin larut dalam penderitaan. Apapun bentuk persoalannya, bila tetap mempertahankan kesadaran akan hadirat Tuhan maka bukan lagi masalah sebagai penderitaan karena cepat mengembalikan suasana batin dalam bentuk kepasrahan dan pengakuan kalau Tuhan punya rancangan kebaikan bukan rancangan kecelakaan. Karena itu, hidup dalam peribadatan akan berada dalam jalur kesadaran bahwa Tuhan selalu menyertai dengan begitu tidak lagi ada kekecewaan karena sudah meninggalkan beban masa lalu dan tidak ada kekuatiran akan hari esok.
Karena itu, lebih baik membawa sikap beribadah di setiap kesempatan dan waktu agar ibadah selalu memberikan rasa bahagia namun harus memperluas makna ibadah. Bukan saja beribadah itu hanya dinikmati saat-saat di gereja namun juga di manapun di luar gereja tanpa terikat liturgi namun hati tetap menyatu dengan hadirat Tuhan tanpa lagi butuh pengakuan manusia.

(Penulis adalah Pemerhati Masalah Pelayanan)



Leave a Reply