Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

IZINKAN AKU MENJADI MATAMU




Dengan perasaan sedih, menyesal, dan marah terhadap diri sendiri, saya merasa merasa tubuh saya yang tergeletak lunglai di atas ranjang rumah sakit ini ditarik melintasi lorong demi lorong. Saya pernah mengalaminya saat sadar dari operasi dulu. Kala itu saya masih bisa melihat para perawat yang mendorong ranjang saya, langit-langit setiap ruang yang kami lewati. Kini, tidak lagi. Mata saya diperban erat-erat. Mulut saya pun terkunci rapat-rapat.

Baru kemarin rasanya saya pamit ke Mama sambil tancap gas. “Pakai helm dulu, Sayang,” ucapan Mama saya abaikan.

Baru kemarin juga rasanya tiba-tiba saya disambar mobil yang melaju kencang.

Baru kemarin rasanya tubuh saya melayang dan terhunjam ke aspal jalanan.

Baru kemarin…

Kini saat tubuh saya dibawa masuk ke kamar yang tidak saya kenal, saya menyesal mengapa tidak berhenti sejenak untuk memakai helm seperti anjuran Mama tercinta. Saat para perawat itu pergi, saya merasa kesunyian begitu menggigit hati.

“Sakit apa, Sayang?” ujar suara gadis di sebelah saya.

“Kecelakaan motor,” jawab saya ogah-ogahan. Gadis di sebelah ini sok akrab dengan memanggil ‘sayang’ segala.

“Matamu kenapa?” tanyanya lagi mengabaikan jawaban ketus saya.

“Saya tidak tahu, mungkin kena kerikil di jalan. Sudah ya, saya mau tidur,” ujar saya dingin.

“Baik, istirahatlah. Istirahat yang cukup membuatmu cepat sembuh,” sahutnya tanpa nada tersinggung sama sekali.

“Terbuat dari apa sih hati rekan sekamar saya ini,” ujar saya dalam hati.

Dalam kondisi mata tertutup saya tidak tahu waktu apakah pagi hari, siang, sore atau malam. Saya hanya bisa mengira-ngira dari kunjungan dokter dan keluarga serta gadis cerewet di sebelah saya.

***

“Pagi, Sayang.” Dia lagi!

Saya tidak menjawab sapaannya. Dianggap tidak sopan juga tidak apa-apa. Saya lagi memilih untuk sendiri saja. Seharusnya Mama menempatkan saya di kamar nomor satu, VIP atau VVIP. Pikiran itu segera saya tepis karena bisa mengukur kemampuan finansial keluarga.

“Pagi ini mentari bersinar cerah lho. Hujan kemarin tidak lagi tampak bekasnya. Eh, kamu tahu tidak, kamar kita persis menghadap danau yang indah…,” begitu celotehnya di ‘pagi’ itu.

“O ya?” jawab saya singkat.

“Izinkan aku menjadi matamu, ya?” jawabnya yang membuat saya marah lagi.

“Kamu memang tidak punya perasaan ya? Ucapanmu itu membuatku teringat kembali bahwa aku tidak bisa melihat,” teriak hati saya jengkel.

“Tahu nggak, ada sepasang angsa yang sedang pacaran di sana,” ujarnya mengabaikan perasaan saya. “Lucu sekali,” imbuhnya sambil terkekeh.

Diam-diam saya tersenyum juga membayangkan angsa yang sedang pacaran. Jujur, saya merasa terhibur dengan juga dengan gadis ‘cerewet’ di ranjang sebelah. Rasanya ingin meralat prasangka buruk saya terhadapnya. Dia baik ternyata.

“Namun, ada yang lebih lucu lagi. Kamu tahu nggak, pembantu rumah tangga yang sering berkunjung ke rumah sakit ini sekarang pacaran dengan satpam di depan. Rupanya cinta tumbuh karena biasa ya?” ujarnya cekikian lagi sambil menutup mulutnya.

Begitulah. Setiap pagi dan sore, saat tidak ada orang di kamar, tetangga sebelah ini terus mengoceh. Dia benar-benar berfungsi menjadi mata saya dengan memberikan laporan  pandangan mata. Ah, kayak reporter televisi saja.

Hari berganti hari dengan cepatnya. Kini, jika gadis sebelah tidak ngoceh, saya jadi kesepian. Yang dulu saya anggap gangguan kini justru saya rindukan.

***

“Pagi, Sayang,” ucapannya membangunkan saya. Suaranya yang merdu—baru saya rasakan sekarang—seperti embun bagi jiwa saya.

“Pagi juga,” jawab saya dengan antusias. Saya heran juga dengan semangat saya pagi itu.

“Ingat tidak dengan sepasang angsa yang pacaran itu? Rupanya mereka sudah punya baby. Imut-imut anak-anak mereka,” ujarnya lagi. Cekikikan lagi. “Ke mana saja angsa itu pergi, anak-anaknya berenang mengekor. Indah sekali.

“Eh, tahu tidak, PRT yang pacaran dengan satpam itu? Kemarin sore mereka putus cinta. Rupanya satpam itu playboy cap kucing. Saat PRT itu ada di pos kekasihnya, istri satpam itu datang menjenguk. Jangan-jangan satpam itu mengaku bujangan. Dasar bajingan,” katanya dengan emosi tinggi.

Entah karena kasihan, entah karena tidak ingin kaum kami dipermainkan, ucapannya yang biasa lembut menjadi keras dan kasar seperti itu. Dalam hati, saya senang dengan sikap tegasnya itu.

***

Pagi itu saya telat bangun. Meskipun tidak tahu jam, rasanya waktu berjalan lambat sekali. Soalnya semalam saya tidak bisa tidur. Gangguan nyamuk benar-benar membuat saya jengkel. Biasanya, menghadapi sikon seperti itu, saya langsung mengambil raket elektrik dan mengayunkan ke sana kemari untuk membantai drakula kecil bersayap ini. Dengan lengan diinfus dan mata diperban, saya benar-benar menjadi santapan nikmat zombie terbang ini.

Sunyi. Sepi. Sendiri. Rasanya ruangan saya bertambah dingin. Dingin yang menyeramkan. “Kok tetangga sebelah tidak ngoceh pagi ini?” ujar saya dalam hati. Saya benar-benar merindukannya sekarang.

Yang datang justru suster jaga yang melakukan tugasnya secara rutin. Mengecek tensi. Memeriksa infus dan rutinitas yang membosankan.

“Gadis sebelah ke mana Sus?” tanya saya.

Perawat yang saya tanya diam saja seolah-olah tulis. Dia terus menyuntikkan obat ke selang infus saya.

“Sus, tetangga sebelah belum bangun ya?” suara saya keraskan.

“Lho, belum tahu ya. Angel meninggal semalam,” ujarnya lirih.

Ucapan pelan itu berubah menjadi ledakan di telinga saya.

“Meninggal? Kenapa?”

“Angel menderita penyakit tak menular tapi mematikan,” ujar suster itu.

“Oh, namanya Angel. Pantas hatinya selembut itu,” ujar saya. Saya merasakan mata saya di balik perban membasah.

“Penyakit itu jugalah yang membuat matanya buta,” tambah perawat itu lagi.

“Apa, buta?”

“Jadi selama ini engkau tidak tahu kalau dia buta?” Saya tidak bisa lagi mendengar suara perawat itu. Suara Angel, sapaannya tiap pagi dan sore serta ocehannya membuat saya menangis sejadi-jadinya.

“Santi…Santi…Sudah relakan Angel ya. Dia sudah berada di surga,” kata perawat itu sambil berusaha menenangkan saya.

“Tanggal berapa sekarang Sus?” Tiba-tiba saja saya ingin mengabadikan hari kepergian Angel di benak saya. Angel telah menyentuh hati saya begitu dalam.

“Tanggal 25 Desember,” jawab perawat itu singkat.

“Izinkan aku menjadi matamu ya,” suara Angel kembali mengalunkan nada syahdu di dalam kalbu.

“Selamat Hari Natal Angel. Sampaikan salamku untuk Tuhan Yesus ya,” ujar saya lirih menahan perih. Angel sudah pergi. Di malam Natal saat malaikat di surga berpesta menyambut kehadiran Sang Raja. Namun, bagi saya, Angel malaikat yang Tuhan kirimkan khusus untuk saya. Malaikat kecil itu kini terbang ke surga membawa hati saya dan mengembalikannya ke saya dengan hati yang baru.

  • Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.


Leave a Reply