Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Goncangan Teologis di Tengah Pandemi




eBahana.com – Bencana Covid-19 saat ini telah menjadi fakta global yang memerikan dan mengguncang kesadaran teologis banyak orang. Namun, yang membuat bencana ini melahirkan kepanikkan global ialah karena sebaran dan jumlah penjangkitnya yang cukup besar dan merata di seluruh dunia. Tidak ada satu benua pun yang bebas dari pandemi ini. Bahkan, teritorial suci, seperti Mekah, Vatikan, Jerusalem, Badrinath, dan Karbala juga ikut terinfeksi virus aneh ini. Agama pun terguncang. Islam, Kristen kurang lebih sama. Khususnya di kelas ulama-ulamanya. Di kalangan Islam soal ahli sunah dan jabbariyah ramai disoalkan. Juga jadwal kapan saja Covid-19 akan lenyap menurut agama.

Di kalangan Kristen ramai soal copy-meng-copy Tuhan Yesus. Terkait soal dahi yang bertanda. Semua itu berseliweran di media sosial. Yang Islam bisa mengikuti gejolak yang di Kristen. Yang Kristen tahu apa yang terjadi di kalangan Islam. YouTube telah membuang sekat dari masjid dan gereja. Sulit mencari yang mana yang benar. Masyarakatlah yang jadi juri terbaik. Dengan kesimpulan mereka sendiri-sendiri. Ternyata di semua agama ulamanya terbelah.

Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia, dan menyangkut kehidupan banyak manusia, berbagai pertanyaan,penafsiran dan diskusi muncul. Hal ini bukan saja tentang medis dan kesehatan atau dampak ekonomi yang ditimbulkan, tetapi juga hal-hal yang menyangkut etika dan spiritual. Diantara yang paling terdampak penyebaran Covid-19 ini ialah kaum agamawan, yang kini di garda terdepan menafsirkan fenomena ini. Corona menggoncang semua lini kehidupan termasuk kehidupan beragama. Gara-gara Corona pendeta-pendeta ini saling sindir, saling tuding dan saling menyerang satu dengan yang lain. Saling tuding para pemimpin-pemimpin gereja di Indonesia ini mengundang polemik di antara umat Kristen di Indonesia. Pemahaman teologi secara dekonstruktif akan membuat agama nyaman menjawab masalah.

Nilai-nilai intrinsik agama seharusnya memberikan jawaban yang rasional, humanis, dan ‘demokratis’ sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan keputusasaan. Baik Islam dan Kristen mengajarkan sikap rasional ketika berhadapan dengan wabah dan bersikap patuh pada pemerintah dan disiplin pada komando yang dikeluarkan. Mengajarkan sikap untuk taat kepada pemerintah dan tidak berselisih paham sehingga umat menjadi tersegregasi. Mengacaukan peran pemerintah melalui pandangan agama yang sinis, sarkastis, dan anarkis jelas bertentangan dengan pesan autentik semua agama. Kini, diperlukan dekonstruksi teologis merespons wabah ini secara bersama. Agama-agama harus bersatu padu dengan pemerintah melawan penyakit yang bisa mengganggu peradaban kita ini. Perlu dibangun pemahaman pluralisme yang agonistik, yaitu semua agama bersikap aktif dalam melahirkan ekspresi kolektif menyelesaikan masalah Covid-19 dengan rendah hati, empati, humanis, dan emansipatif.

Bukan hanya itu, agama juga kerap diperalat untuk membangun konsep teologis ‘lain’. Situasi seperti itu menjebak agama untuk merespons secara ‘ekstrem dan fatalistis’ fenomena sosial, seperti wabah dan perang. Pola penafsiran bahwa pihak lain sebagai neraka dan sumber masalah ialah wujud kegagapan teologis mencari jawaban autentik. Saling serang dan menyalahkan, agama lain, atau berbeda mazhab sebagai biang kerok atas wabah juga manifestasi ketidaksadaran teologis dan membuat agama semakin dijauhi, sisi-sisi egois tafsir dari pola saling menuduh. Meskipun agama ialah konsep sakral historis, ia harus mampu hidup untuk masa sekarang. Dalam masyarakat yang semakin individualis, pandemi Covid-19 dapat dengan cepat bermutasi menjadi epidemi keputusasaan. Maka sepatutnyalah kehadiran Gereja berfungsi sebagai panggilan sosial, terutama dalam kondisi panik saat ini.

Dari pada berdebat dikarenakan perbedaan pandangan dan dogma serta teologi maka alangkah lebih baiknya apabila gereja (individu) bersinergi melakukan Teologi praktis yang menegaskan aspek kepedulian, pengorbanan, dan komunitas yang kini perannya sangat penting di tengah pandemi Covid-19. Dengan adanya wabah Corona, Gereja kini dituntut untuk kembali menginspirasi dan meredakan kekalutan jemaat. Alkitab memberikan pemahaman kepada kita, khususnya Perjanjian Baru Yohanes 3:17, berkata “Bapa tidak mengirim Yesus ke dunia untuk mengutuk manusia, tetapi untuk menyelamatkan/menyembuhkan mereka “. Ini adalah pesan penting yang harus menjadi prioritas bagi gereja dan orang percaya.

Ditengah pandemi ini, memang kita dibedakan oleh karena tradisi, oleh karena doktrin kita dan oleh karena berbagai perbedaan yang lain, tetapi gereja harus dapat menyisihkan waktu untuk bergerak bersama-sama berdasarkan kasih kita akan jiwa-jiwa. Gereja harus dapat bersatu dalam perbedaan dengan satu tujuan menyelamatkan jiwa-jiwa. Gereja jangan terjebak menjadikan mimbar sebagai ajang untuk memperdebatkan perbedaan doktrin, ataupun perbedaan dogma. Sampaikan lah firman yang benar kepada seluruh jemaat. Jika ingin memperdebatkan hal-hal tertentu yang bersangkut-paut dengan doktrin/dogma, adakanlah perjumpaan khusus dengan para rohaniawan yang bersangkutan. Perbincangkan hal itu, perdebatkan hal itu namun tetap dengan dasar Kasih Kristus diantara kita.

Perbedaan memang tidak dapat terhindarkan tetapi marilah kembali kepada tujuan gereja mula-mula yaitu sebagai tangan Tuhan untuk menyelamatkan manusia yang terhilang berdasarkan amanat agung-Nya. Tentu saja Amanat Agung akan bisa dilaksanakan jika semua gereja bersatu dalam satu tubuh (1 Korintus 12:12-27 ) tanpa menganggap gereja lain sebagai saingan. Inilah saatnya gereja merespons dengan semangat solidaritas sebagai mana yang Alkitab beritahukan Matius 7:12 “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka; “Kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri.” (Markus 12:31), atau “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13).

Sederhananya, etika Kristen di masa wabah menganggap hidup kita sendiri harus selalu dianggap kurang penting daripada kehidupan sesama manusia. Marilah kita mengevaluasi diri kita sendiri. Sudahkah kita berusaha menjadi gereja yang terkoneksi dengan masyarakat dan menjadi berkat bagi sekitar kita? Semoga kita tidak terjebak dalam penghakiman yang baru. Terpujilah Tuhan dan segala kemuliaan,kebesaran serta pujian hanyalah bagi-Nya. Amin.

Oleh Pdt. Wijaya Naibaho.



Leave a Reply