Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

‘Gereja Autis’




eBahana.com – Suatu Minggu pagi di bulan November tahun lalu, saya menghadiri kebaktian di sebuah gereja yang terletak di pusat kota Jakarta. Gedungnya lebih tinggi dari pusat perbelanjaan di sebelahnya. Saya sangat berharap mendapat suntikan multivitamin rohani Minggu itu. Dua Minggu sebelumnya saya tak bisa ke gereja. Tapi, Minggu itu saya butuh bertumbuh secara korporat maka khotbah pagi itu menjadi konsen utamaku. Saya disambut dengan hangat dan mendapat isi khotbah yang benar-benar saya butuhkan. Sampai di situ saya cukup puas. Namun, respons saya sedikit berubah saat sebelum ibadah selesai, pengumuman disampaikan.

Seorang petugas, sekaligus pelayan gereja mengumumkan akan ada perayaan Natal gereja tersebut pada tanggal yang telah ditentukan di bulan Desember. Katanya, ia berdoa dan Tuhan berbicara untuk membuat Natal yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Natal kali ini harus bermakna.

“Untuk Natal kali ini, kita tidak butuh dana banyak”, sambil tersenyum kecil ia menyebut, ”Dananya hanya 60 juta rupiah. Hanya 60 juta rupiah.”

Saat ia mengatakan hal itu, spontan saya dan dua saudara yang datang bersama saya saling memandang kaget dan bersamaan kami saling berucap, “Enam puluh juta itu banyak! Kok bisa bilang ‘hanya’?”.

Selanjutnya pelayan yang menyampaikan pengumuman itu masih berbicara begini, “Gereja-gereja denominasi kita yang kaya-kaya di Jakarta merayakan Natal dengan mewah. Mereka butuh dana lebih besar. Kita tidak usah seperti mereka. Kita cuma butuh 60 juta rupiah untuk acara Natal kali ini.”

Banyak yang Membutuhkan
Glekk!! Tiba-tiba saya nyaris lupa dengan semua isi khotbah yang mengenyangkan saya tadi. Kok begini ending-nya? Saya lalu teringat pada SMS seorang teman yang berbunyi begini: “Mbak, saya bisa minta tolong, nggak? Saya butuh buku-buku pelajaran, krayon, puzzle, pensil, dan tas untuk anak-anak pedalaman Kalbar yang tidak bisa sekolah. Kasihan Mbak. Mereka juga jarang pakai baju. Mereka suka main tanah, ingusnya
meleleh. Tidak terawatlah. Saya bisa dikirimi 50 ribu nggak? Soalnya saya butuh beli supermi dan sarden juga
untuk makan.” Tidak hanya itu pikiran saya juga melayang ke kehidupan kampung kumuh di bantaran Bendungan Dempet yang tidak jauh dari tempat tinggal saya. Setiap kali lewat situ, saya harus latihan tahan napas karena bau air yang menguap dari selokan besar yang disebut sebagai bendungan itu sudah bercampur dengan sampah dan limbah rumah tangga dan pasar. Sepanjang bendungan itu mata saya bisa menangkap jejeran rumah petak yang luas, kamarnya 2×3 m² dengan tumpukan perabotan yang tidak kalah kumuh dan jemuran pakaian basah yang digantung di balkon-balkon mereka yang menghadap ke bendungan.

Jangan Egois!
Bagaimana mungkin gereja yang mampu beribadah minimal dua kali di gedung bertingkat di pusat kota Jakarta dan berencana merayakan Natal dengan biaya ‘hanya’ 60 juta bahkan gereja-gereja berdenominasi sama di Jakarta mampu merayakan Natal secara mewah, sementara di pelosok rimba sana, ada seorang pelayan Tuhan lain yang kesulitan melayani di tengah anak-anak pedalaman yang tak melek baca, tidak
sehat, dan serba kekurangan? Pada hari yang sama saya juga mengetahui kalau gereja ini sedang mendatangkan seorang hamba Tuhan internasional yang acaranya akan diselenggarakan di Hotel Ritz-Carlton. Saya dilarang meliput acara tersebut dan ketika diminta informasi nomor kontak orang yang bisa saya hubungi agar dapat mewawancarai hamba Tuhan terkenal itu, saya dibuat berputar-putar oleh panitianya.

Saya jadi berpikir lagi, ada orang mau memberitakan Kabar Baik dari balik mimbar gereja kepada semua orang lain di luar sana yang butuh makanan rohani kok gereja malah menutup pintu? Saya jadi heran, resah, dan gelisah dengan situasi ini. Gereja–yang saya yakin tidak hanya gereja yang saya datangi itu–seperti orang autis yang sibuk dengan dunianya sendiri. Apa iya Yesus terlalu nyaman dengan segala urusan di surga sana dan enggan menginjakkan kaki di dunia kita? Kok kita malah mikir diri sendiri sih? Jaclyn Litaay



Leave a Reply