Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Dr. Xavier Quentin P : Sampah dan Sumpah Serapah




Sebuah gelas plastik bekas minuman kemasan tampak dilempar keluar dari mobil polisi. Seorang pemuda gondrong yang melihat perilaku yang tidak elok dari pelindung dan pengayom masyarakat itu memungutnya dan mengembalikannya ke pemiliknya sambil berkata, “Pak, ini sampah air gelasnya, jangan buang sampah sembarangan, buang di tempat sampah saja.” Saat menyaksikan peristiwa heroik yang direkam dan diunggah ke YouTube dan menjadi viral itu, saya teringat dengan pengalaman saya saat berada di luar negeri. Seorang gadis dengan bangga berkata bahwa di kotanya, tempat sampah ada di mana-mana dan setiap warga negara tahu cara membuang sampah yang baik.
“Anda pernah ke Indonesia?” tanya saya yang dijawab dengan gelengan kepala.
“Di Indonesia tempat sampah ada di sepanjang jalan,” lanjut saya.
Saya menahan tawa saat melihat dahinya mengernyit. Jika saya teruskan, “WC pun ada di sepanjang sungai” bisa pingsan dia.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan rupanya sudah mengurat-akar dan mendarah-daging dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah kita kehilangan kesadaran sehingga melakukan perbuatan tak terpuji itu? Tidak juga. Buktinya, saat kita berada di negara tetangga—katakan saja Singapura—begitu menginjakkan kaki ke kota singa ini, kita langsung dibuat sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mengapa? Karena takut didenda. Namun, begitu balik ke tanah air, tiba-tiba saja kita bisa kehilangan kesadaran. Memuakkan.

Menampung Tumpahan Sampah

Itulah yang sopir pribadi saya alami saat mengantar keluarga kami ke sebuah theme park di tanah air. Karena tiket yang saya belikan berlaku untuk semua permainan, dia mencoba ‘piring terbang’. Begitu saya selesai menemani anak saya bermain di sebuah wahana, saya mendapati sopir saya dalam keadaan teler.
“Pusing, Pak?” tanya saya.
“Mau muntah, Pak,” ujarnya dengan wajah pucat.
“Sakit?”
Dia menggeleng lalu menceritakan bahwa penumpang wahana piring terbang di atasnya tumpah dan sisa makanan yang belum sempurna diproses pencernaannya mengguyur wajahnya.
Jika sopir saya mau tidak mau harus menerima tumpahan sampah itu karena kebetulan dia sedang berada di bawah, sebenarnya kita bisa saja menolak sampah hinggap di diri kita.

Mau Jadi Tempat Sampah?

Seorang penumpang taksi menceritakan pengalamannya saat kendaraan yang dia tumpangi dipotong kasar oleh sebuah mobil di depannya. Sopir taksi berusaha keras untuk menghindari tabrakan dengan menginjak rem dan membelokkan arah mobilnya sehingga tergelincir di pinggir jalan. Alih-alih turun dan minta maaf, penumpang mobil yang ugal-ugalan itu justru membuka kaca mobilnya dan memaki-maki sopir taksi tak bersalah itu. Janganlah membalas, sopir taksi itu malah tersenyum dan melambaikan tangannya.
“Anda kok bisa sesabar itu, Pak?” tanya penumpangnya keheranan.
Sambil tetap tersenyum sopir taksi itu berkata, “Banyak orang seperti pengemudi yang menyetir dengan serampangan. Di dalam dirinya banyak hal negatif yang dia simpan. Lama-lama tempatnya penimbunan sampah itu penuh dan meluber keluar. Dia butuh tempat untuk membuang sampahnya. Dia jadi mudah marah, uring-uringan dan membuang sampahnya kepada setiap orang yang dia jumpai. Jika saya meresponnya secara negatif, berarti saya menerima sampah itu. Namun, ketika saya bersikap sebaliknya, saya bebas dari sampah.”

Sampah di Udara

Di dunia penerbangan pun pramugari sering mendapatkan lontaran ‘sampah’ dari para penumpang yang sok menang sendiri. Mereka bukan saja melirik genit dan menggoda pramugari, melainkan ada yang menamparnya karena alasan sepele. Sebagai seorang frequent flyer, saya menemukan prinsip ini: saat saya menghormati crew pesawat, mereka pun menghormati dan melayani saya dengan amat baiknya.
Bahkan ketika berkata, “Good landing, Sir!” kepada seorang pilot yang berhasil mendaratkan pesawatnya bukan hanya dengan selamat tetapi dengan mulus, senyum lebar pilot ganteng itu masih saya ingat sampai sekarang. Ada rasa hangat saat kebaikan kita dibalas senyuman yang tulus.
‘The Law of Garbage Truck’ ini berlaku untuk kita semua. Jika kita melemparkan sampah ke orang yang melakukannya kepada kita, sampah sama-sama tertimbun baik di sisi kita maupun orang lain.
Kisah Bu Dendy seorang istri yang memaki dan melempari pelakor—perebut bini orang—dengan uang setengah milyar, makin mengukuhkan kebenaran ini. Ketika dia mengunggah video ‘main hakim sendiri’ itu, ada netizen yang justru membongkar boroknya sendiri. Diduga dia pernah melakukan hal yang sama, yaitu merebut suami orang lain. Untung kisahnya berakhir baik. Baik yang mem-bully maupun yang di-bully sepakat untuk berdamai. Perang ‘sampah’ di media sosial pun berhenti. Elok dan sejuk rasanya.

Membalas Tuba dengan Susu

Waktu berada di bekas tembok Berlin yang sekarang dipajang di museum, saya mendapatkan kisah menarik seputar tembok pemisah Jerman Barat dan Jerman Timur ini. Karena iri hati dengan kemajuan Jerman Barat, penduduk Jerman Timur di sepanjang tembok pemisah itu melemparkan sampahnya ke wilayah Jerman Barat. Tentu saja mereka marah. Namun, seorang tokoh dengan bijak melakukan gerakan ‘balas kasih’. Mereka tidak ganti melemparkan sampah ke wilayah tetangganya. Sebaliknya, mereka melemparkan roti, sayur, sarden, dan daging yang terbaik ke Jerman Timur. Sejak saat itu, lemparan sampah itu berhenti. Tanpa sadar, mereka adalah segelintir orang yang akhirnya mengupayakan agar tembok pemisah itu dibongkar saja.
Ada saatnya kita bertindak seperti pemuda gondrong yang berani mengembalikan sampah ke mobil patwal. Ada saatnya kita membalas kejahatan dengan kebaikan untuk mendatangkan perdamaian. Untuk mendapatkannya , kita tidak bisa melemparkan sumpah serapah kepada orang yang melempar sampah ke arah kita. Sebaliknya, kita bisa mengembalikan sampah itu dalam bentuk cindera mata yang lebih mewah.
Saya membaca kisah seorang tawanan perang yang diperlakukan dengan buruk oleh tentara musuh. Setiap pagi, dia dibangunkan dengan dilempar sepatu berlumpur oleh komandan tentara itu. Alih-alih marah, dia mengambil sepatu itu, membersihkannya, menyemirnya sampai mengkilap dan menaruhnya kembali di bawah ranjang serdadu itu.
Saat bangun tidur dan melihat sepatu yang dilemparkanya kembali dengan kondisi bersih tersemir, dia malu dengan dirinya sendiri. Mereka menjadi sahabat karib bahkan setelah perang usai.
Hari-hari ini sampah berupa hoax, hate speech dan black campaign bisa saja menimpa kita. Apalagi jika kita hendak mencalonkan diri sebagai pejabat atau kepala daerah. Lihat saja pilkada serentak 27 Juni yang lalu. Grup WA saya penuh dengan berita yang simpang siur. Di antara sekian banyak tautan yang diunggah ke grup sebagian merupakan ‘perang’ antar dua atau lebih kandidat calon kepala daerah. Masing-masing fans atau buzer mencoba dengan berbagai cara—seringkali dengan segala cara—untuk menggoalkan pasangannya dan menjebloskan lawannya ke lubang.
Beruntung sekali pilkada serentak berbarengan dengan piala dunia sehingga ‘perang sampah’ ini bisa sedikit banyak tersisih oleh demam bola.
Kita tidak harus menjadi politikus untuk menerima semua sampah itu. Saya percaya, kita pun pernah menerima lemparan sampah semacam itu. Apakah kita akan membalasnya dengan cara yang sama atau membalikkan kondisinya dengan melakukan yang baik? Apakah kita mengembalikan sampah yang dibuang kepada kita dengan sumpah serapah, atau membalas sampah dengan berkah? Bisakah kita menyodorkan susu kepada orang yang memberi kita tuba? Pilihan ada di tangan kita.

Dari pelukis kehidupan di kanvas jiwa.



Leave a Reply