Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

DALAM SEBUAH GUA (Refleksi I Raja-raja 19:9-18)




eBahana.com – Paparan ini dimaksudkan agar siapapun dapat memahami suara hati, angan, juga kondisiku.  Dengan membacanya, hendaknya orang lain dapat memetik hikmahnya dan tak perlu mengalami hal-hal buruk.  Hmm,….dari mana harus kumulai kisah ini?!  Sepertinya tak mungkin secara terperinci menuangkan keseluruhan kisah hidupku, yang paling penting sajalah yang kutuliskan di sini.  Baiklah, lebih baik mulai dari bagian perkenalan diri.

Aku Elia, dalam bahasa Ibrani biasa disebutkan Ellyahu artinya ‘Yahweh adalah Allah’.  Orang Arab memanggilku dengan Ilyas, sedang orang Inggris mengatakan dengan Elija atau Elias.  Aku dilahirkan di Tisbe, Gilead, Israel pada tahun 2664 SM.  Ayahku bernama Sobach.  Aku berperan sebagai pelayan Tuhan, ….ya ya benar… ‘nabi’ begitulah orang menyebutkan jabatan dan sekaligus pekerjaanku.  Aku melayani di Kerajaan Israel Utara pada jaman pemerintahan raja Ahab, Ahazia, dan Yoram pada sekitar abad ke 9 SM.

Kali ini, aku tak tahu harus berbuat apa.  Seluruh bagian tubuhku terasa lelah.  Kutempuh perjalanan selama empat puluh hari empat puluh malam menuju gunung Horeb dengan berjalan kaki.  Aku ingin berdiam diri di sini, di gua ini.  Aku tak ingin melakukan hal apapun selain berbaring,…..ya berbaring,…..hanya berbaring.  Masih segar dalam anganku, betapa beratnya pelayanan yang sudah kulakukan bagi Tuhan.  Aku berjuang sepenuh tenaga untuk mengingatkan raja Ahab dan seluruh rakyat Israel supaya berbalik dari kesesatannya dan kembali kepada Tuhan.  Namun alhasil, kini aku mengalami kesengsaraan luar biasa karenanya.  Aku sendirian, tak ada dukungan dan pertolongan bagiku.  Seperti mau mati rasanya.  Oh…..

Sejak Ahab, anak Omri menjadi raja Israel dalam tahun ketiga puluh delapan jaman Asa, raja Yehuda,….penyembahan berhala di Israel begitu hebatnya, bahkan melebihi apa yang terjadi di masa Yerobeam bin Nebat.  Hal ini disebabkan karena raja Ahab mengambil Izebel (dalam bahasa Ibrani biasa disebutkan Izevel atau Izabel, sedang dalam bahasa Inggris biasa dilafalkan dengan Jezebel), putri raja Etbaal (Ithobaal I) yang memerintah kerajaan Sidon yang berlokasi di daerah Fenisia.  Izebel telah mempengaruhi raja Ahab untuk menjauhkan hatinya dari Tuhan Allah dan mencondongkannya pada Baal.  Bahkan ia membuat mezbah untuk Baal di kuil Baal yang didirikannya di Samaria.  Sesudah itu Ahab juga membuat patung Asyera.  Tentulah perbuatan Ahab sangat menyakiti hati Tuhan.  Kehidupan pemimpin yang sesat demikian itu menjadi teladan bagi rakyat.  Dampaknya, penyembahan berhala secara membabi buta terjadi di kawasan kerajaan Israel Utara.

Tuhan menghukum Israel Utara dengan kekeringan yang teramat sangat.  Raja Ahab mencari-cari dan berusaha menangkapku, sebab dia menganggapku sebagai penyebab bencana kekeringan ini.  Aku terpaksa melarikan diri dan Tuhan memeliharaku dengan menyuruhku tinggal di tepi sungai Kerit di sebelah Timur sungai Yordan, sehingga aku dapat minum dari air sungainya.  Sementara itu, pada waktu pagi dan petang, burung-burung gagak membawa roti dan daging untuk kumakan.  Ya,….burung-burung gagak, binatang yang najis itu dipakai Tuhan memenuhi bahan panganku.  Ohh tak pernah kubayangkan semua itu terjadi dalam kehidupanku, seorang pelayan Tuhan bangsa Yahudi yang bergantung pada binatang yang najis.

Tak berapa lama, air sungai Kerit pun mengering.  Seorang janda miskin di Sarfat yang termasuk wilayah di Sidon, dipersiapkan Tuhan menjaga kelangsungan kehidupanku.  Dia pun menyatakan kuasaNya dengan mencukupi kebutuhan janda itu dan anaknya.  Bahkan mujizat besar dinyatakan Tuhan melaluiku saat anak janda tersebut mati, yaitu dengan membangkitkannya.

Selanjutnya akupun bertemu Obaja, pegawai Ahab di saat aku diutus Tuhan menjumpai raja Ahab.  Akupun tahu dan bangga akan hebatnya perjuangan Obaja dalam menyembunyikan seratus nabi dari pengejaran Izebel, serta mengurus makanan dan minuman mereka selama dalam persembunyian.  Aku bertemu dengan raja Ahab untuk menyampaikan pesan Tuhan bahwa terjadinya malapetaka disebabkan oleh dia dan seluruh keluarganya.  Untuk membuktikan kebenaran semua itu maka kukatakan agar dia mengumpulkan seluruh orang Israel ke gunung Karmel, serta nabi-nabi Baal dan nabi-nabi Asyera yang jumlahnya masing-masing empat ratus lima puluh orang.

Di atas gunung Karmel, Tuhan menyatakan diri kepada seluruh yang hadir dengan cara menerima lembu korban bakaran yang kupersembahkan.  Namun di sisi yang lain, Dia tidak menerima lembu yang dipersembahkan nabi-nabi Baal sebagai persembahan mereka.  Api Tuhan menyambar habis lembu yang kusiapkan di mezbah sebagai korban.  Inilah yang meneguhkan kepercayaan orang Israel kembali kepada Tuhan yang benar.  Mereka bangkit untuk membunuh semua nabi Baal.  Tapi kenyataan ini justru membuat Izebel semakin geram.  Dia berupaya menemukan dan membunuhku apapun caranya.  Aku berlari sampai ke Bersyeba untuk menyelamatkan diri.  Selanjutnya dalam sehari perjalanan lagi sampailah aku di padang gurun dan duduk di bawah pohon arar.  Kuingat bahwa malaikat Tuhan memberikanku makan hingga dua kali di sana sebelum perjalananku empat puluh hari empat puluh malam hingga tiba di gunung Horeb.

Ya, di sebuah gua di gunung Horeb inilah kini aku berada.  Aku merasa sangat tak berdaya.  Letih, lapar, dahaga, dan juga takut, cemas, serta kemarahan bercampur aduk menjadi satu.   Sendiri aku di sini, tak ada yang menemani, tak ada yang peduli.  Aku tak tahu jalan keluar atas perkara yang menimpaku.  Otakku macet, pikiranku buntu.  Kegelapan seakan menyergapku, mengepungku, tak dapat kulepaskan diri.  Semua ini sangat tidak mengenakkan, aku ingin mati saja.  Aku tidak sanggup lagi menahan tekanan ini, terlalu berat.

Sayup-sayup…kudengar suara Tuhan, “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”  “Akh, mengapa Dia bertanya begitu?  Bukankah Dia Maha Tahu?  Apa perlunya bertanya begitu?” demikian gemuruh suara hatiku.  “Aku bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjianMu, meruntuhkan mezbah-mezbahMu dan membunuh nabi-nabiMu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku”, demikianlah aku menjawabNya.  Dia pun menghendaki aku keluar dan berdiri di atas gunung itu di hadapanNya.  Ada angin besar dan kuat yang membelah gunung-gunung dan bukit-bukit batu, tetapi tidak ada Tuhan di sana.  Lalu datanglah gempa, tetapi Tuhan pun tak ada di sana.  Kemudian datanglah api, tapi Dia pun tak ada di sana.  Setelah datang angin sepoi, ada Tuhan di sana.  Sementara aku menyelubungi mukaku lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu, karena tidak tahan melihatNya.  Dia masih bertanya dengan pertanyaan yang sama, dan kujawab juga dengan jawaban yang sama.  “Apakah Dia tak mengerti jawabanku tadi, sehingga harus diulang pertanyaanNya?” demikian pergulatan suara batinku.  Akh, kepalaku semakin pusing memikirkannya.  Otakku benar-benar tidak membantuku menemukan jawabannya.  Ohh biarlah, aku tak peduli walaupun semua tak kupahami.

Tuhan lalu memerintahkan agar aku kembali ke jalan semula melalui padang gurun ke Damsyik untuk mengurapi Hazael menjadi raja Aram dan Yehu (cucu Nimsi) menjadi raja Israel.  Tuhan juga menginginkanku supaya mengurapi Elisa bin Safat, dari Abel Mehola menjadi nabi penggantiku.  Tuhan berpesan bahwa semua yang terluput dari pedang Hazael akan dibunuh oleh pedang Yehu, dan yang terluput dari pedang Yehu akan dibunuh oleh pedang Elisa.  Jadi merekalah alat yang dapat memusnahkan kebejatan atmosfir Baal yang menyelubungi Israel.  Mengapa aku berpikir, hanya aku yang bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan?  Hmmm, ya kuingat Obaja, pria pemberani yang menyembunyikan dan mengurus keperluan seratus nabi Tuhan.  Betapa naifnya aku, seolah aku satu-satunya pejuang hebat bagi Tuhan semesta alam.

Lalu Tuhan juga mengingatkanku bahwa ada tujuh ribu orang Israel yang tidak sujud menyembah Baal dan mulutnya tidak mencium dia.  Aduh, betapa buruknya aku menganggap bahwa seluruh rakyat Israel pendosa dengan mencondongkan hatinya pada Baal.  Ternyata masih ada orang-orang yang hatinya terpaut kepada Tuhan yang benar.  Kini aku sadar bahwa aku selalu menganggap semua yang terlihat memukau pasti dahsyat, padahal tidaklah selalu begitu.  Waktu Tuhan yang Maha Hebat menyatakan diriNya kepadaku tidak melalui kedahsyatan alam, Dia ada justru di angin sepoi basa.  Mengapa aku menetapkan standar pada apapun juga melalui cara pandangku?  Inilah yang membuatku sangat tertekan.  Mengapa aku tidak menilai dan mendasarkan segala sesuatu dengan cara Tuhan menilai?  Sungguh betapa bodohnya aku memaksakan ukuran yang tidak sepatutnya diukurkan pada sesuatu hal.  Aku harus mengubah paradigma berpikirku.  Supaya aku dapat dengan tepat menempatkan segala hal pada porsi yang seharusnya.  Sekarang aku tahu penyebab depresi yang kualami.  Ya,…mungkin istilah keren masa kini adalah ‘burn out’.  Aku bersyukur memiliki Tuhan yang begitu lembut mengajar dan menolongku keluar dari kungkungan ‘burn out’.  Dia sama sekali tak menegurku mengapa aku seorang nabi dapat mengalami stress berat.  Dia sungguh Bapa yang sangat memahami keadaan anak-anakNya.  Bahkan ketika anak-anakNya tak sanggup berkeluh kesah padaNya, Dia sangat mengerti dan tak akan berlama-lama untuk menolong mereka.  Ohh ini sangat indah, akhirnya aku pun keluar dari dalam gua,…ya kini aku bisa mengucapkan, “Selamat tinggal depresi!!”

 

Oleh Anna Mariana Poedji Christanti – FSI Club Ministry.



Leave a Reply