Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Membangun Ikatan Emosi dengan Anak




Julianto & Roswitha, Layanan Konseling Keluarga dan Karier (LK3)

Apakah Anda punya anak remaja? Bagaimana hubungan Anda dengan dia? Sejauh mana dia bisa ngobrol dengan Anda, selaku orang tuanya?

Suatu kali seorang ibu menyatakan keprihatinannya pada saya. Dia bingung karena ketiga anak remajanya (SMP kelas 1, SMP kelas 2, dan SMU kelas 1) lebih suka main handphone atau game daripada ngobrol satu sama lain, dalam perjalanan ke sekolah. “Padahal, kalau dihitunghitung, kebersamaan kami dalam sehari hanya selama satu jam di mobil, dalam perjalanan ke sekolah,” katanya. Di luar itu, masing-masing sibuk
dengan aktivitas pribadi. Dalam pengamatan saya cukup banyak orangtua akhirnya bingung, tidak bisa bicara dengan anak-anaknya. Kalau dipaksakan malah akan timbul konflik. Karena anak-anak tidak imut lagi, konflik
itu jadi berkepanjangan. Masing-masing merasa ada jarak di antara mereka. Orangtua nampak terlalu hati-hati, takut menyinggung perasaan remajanya; sedangkan sang anak, cuek.

Kebutuhan Emosi

Salah satu penyebab dinginnya hubungan orangtua dengan anak remaja adalah tidak adanya ikatan emosi yang dibangun dengan baik sejak kecil. Misalnya orangtua seringkali meninggalkan anaknya dengan orang lain. Padahal pada saat yang sama anak kita (usia 0-2 tahun) sedang membutuhkan bimbingan untuk membangun trust dalam dirinya pada orang lain. Jika baby-sitter (siapa pun dia) anak kita dapat mengakomodasi hal ini, anak kita akan punya trust yang sehat. Ini akan menjadi modal dia untuk percaya pada bapanya di dunia dan Bapa Surgawinya kelak. Kalau sebaliknya yang terjadi, dia akan sulit
melihat Allah sebagai Bapa yang baik. Contoh lain adalah ikatan emosi yang dibangun dalam masa eksplorasi
anak. Siapapun anak, dia akan senang mencoba. Bayangkan, betapa lucunya anak kita tertatih-tatih dengan kaki pendeknya yang baru mulai berfungsi, ingin mencoba ini dan itu.

Mungkin dia mau coba mematikan televisi. Betapa patah hatinya ketika dia mengulurkan tangan ke tombol TV, ada suara berteriak, “Timmy, hatihati, nanti kesetrum!” Lantas sepasang tangan yang kuat merenggutnya dari depan televisi, “Dasar anak nakal!” Timmy tidak akan mau mencoba lagi. Suatu kali, saya melihat seorang
ibu berbicara dengan suara keras kepada anaknya (laki-laki, sekitar 3 tahun) yang sedang menangis di pinggir jalan, “Jangan menangis! Bisa nggak bicara baik-baik sama mami?” Kalimat yang sama diulang berkali-kali, ”Bicara yang baik! Jangan sambil nangis!” Bukannya diam, tangis sang anak tambah keras, tersedu-sedu. Kelihatan sekali dia berusaha diam, tetapi tidak mampu. Maka dengan suara lebih keras si ibu berteriak, ”Ya sudah! Menangis saja sana. Mami mau pulang!” Sang mami meninggalkan anaknya (mungkin hanya berpura-pura) meraung-raung. Peristiwa ini menarik perhatian saya dan beberapa orang yang lewat di jalan itu. Selang beberapa saat, si ibu kembali, menarik anaknya sambil bergumam, ”Bikin malu aja!” Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Salah satu hal yang kurang dimengerti orangtua adalah anak membutuhkan penyaluran emosi dalam bentuk tangisan, marah, atau ngambek.

Jangankan anak, orang dewasa pun memerlukan hal ini. Karena itu, berilah waktu dan kesempatan untuk
anak menyatakan perasaannya dengan menangis atau marah, tentu saja sepanjang tidak merugikan si anak.
Kadang-kadang anak pun tidak mengerti mengapa dia menangis atau marah. Mungkin saja itu bagian dari
perasaan alam-bawah-sadar-nya, atau dia sedang membutuhkan perhatian orangtuanya. Karena itu, baik jika kita memeluknya atau menyatakan kesiapan kita menerima luapan emosinya. Jangan takut anak menjadi cengeng. Kalau dia sudah tidak menangis atau marah, kita bisa ajak dia main dan memberikan penjelasan dengan baik.

Ikatan Emosi yang Sehat

Salah satu cara membangun ikatan emosi yang sehat dengan anak adalah lewat cerita (anak usia 3-8 tahun) dan diskusi/ngobrol (anak usia 8-11 tahun), apalagi jika orangtuanya bekerja di luar rumah. Bagaimana melakukannya? *) Tidak ada cara lain, di tengah kesibukan kita harus menyediakan waktu untuk anak balita kita. Siapkan ceritacerita yang membangun karakter dan moral untuk disampaikan kepada anak, terutama sebelum tidur. Anak-anak usia 3-8 tahun senang bertanya, terutama
istilah dan kata yang belum pernah didengar. Jawablah sebisa Anda, gunakan bahasa yang mereka mengerti. Hati-hati, jangan sampai kita terpancing marah seandainya pertanyaan anak-anak sulit dijawab. Katakan saja, ”Mama atau papa akan mencari tahu artinya. Besok atau lusa kita bicarakan kembali!” Buatlah suasana sebelum tidur sangat nyaman untuk anak beristirahat. Usahakan anak tidak menangis sebelum tidur atau tidur
dalam ketakutan. Apakah kebutuhan anak usia 8-11 tahun? Ngobrol! Apakah ada pelajaran yang membingungkan mereka di sekolah? Atau ada kata dan istilah baru yang didengar dari teman? Kita harus waspada untuk tidak menyalahkan anak seandainya mereka mengemukakan sesuatu yang rasanya tidak pantas. Lebih baik kita sampaikan dengan baik alasan ketidakpantasan itu. Walaupun sudah lebih besar, anak usia 8-11 tahun masih berpikir konkret.

Sebab itu, sesuatu yang disebut ”tidak pantas” pun harus jelas untuk mereka. Bebaskanlah anak untuk bertanya apapun pada kita. Sikap demikian akan membangun harga diri dan kecerdasan emosinya bertumbuh dengan sehat. Biar anak tahu bahwa merekalah yang terutama, lebih dari segala yang lain. Buat anak-anak kita percaya bahwa kita selalu ada untuk dia. Anak-anak sangat peka terhadap penolakan. Mereka akan merasa tidak nyaman jika perhatian kita tidak sepenuhnya tertuju padanya. Suatu kali, Moze (10 tahun) menegur saya,
”Mama nampaknya lebih suka SMSan daripada main dengan aku, deh!” Konteksnya waktu itu, kami sedang
main catur. Ketika tanda SMS pada ponsel saya berbunyi, saya langsung mengambil dan membalasnya. Saya meminta maaf dan berjanji tidak akan memegang ponsel selama main dengan dia. Tapi suasana sudah tidak enak lagi. Sejak itu, saya selalu menonaktifkan ponsel saya jika sedang bersama anak-anak. Waktu bersama
mereka jauh lebih penting daripada apa pun.

Keutuhan Manusia 

Manusia yang utuh memiliki aspek: fisik, emosi, pikiran/akademik, sosial, dan moral/spiritual. Jika salah satu
dari kelima aspek ini tidak bertumbuh dengan sehat, kepribadiannya bisa tumbuh, tidak utuh. Umumnya orangtua mengerti jika fisik anak harus diurus dengan baik. Anak diberi makan, pakaian, kesehatannya dijaga sehingga tumbuh-kembangnya seimbang. Pikiran anak dilatih lewat sekolah dan berbagai ketrampilan lain.
Demikian juga kecerdasan sosialnya. Orangtua dikatakan berhasil jika anak bergaul dengan baik dan sopan. Dari segi spiritual anak-anak dibimbing lewat gereja/Sekolah Minggu. Hasil dari perkembangan fisik, akademik, sosial, dan moral akan segera terlihat dengan jelas. Dia sehat (fisik), pelajarannya baik, pergaulannya baik, dan suka melayani dan berkarakter/moral baik. Tetapi ini saja tidaklah cukup. Kecerdasan emosi penting untuk membuat anak kita utuh dan memenuhi tujuan hidupnya. Sehat-tidaknya emosi seseorang bahkan baru bisa terlihat saat dia memasuki tahap perubahan besar dalam hidupnya.

Misalnya menginjak masa remaja, bekerja, dan menikah. Apakah dia orang yang bisa bekerja sama dengan orang lain? Apakah anak mudah memaafkan atau pendendam? Apakah dia suka melecehkan atau menghargai
orang lain? Apakah dia suka ”menimbun sampah” emosi dalam hatinya atau mudah berbagi perasaannya? Jika
anak menumpuk perasaan-perasaan negatifnya, itu bisa menimbulkan berbagai gangguan emosi di dalam
dirinya. Kita perlu melatih anak terbuka dalam mengemukakan kegelisahan dan emosi negatif lainnya. Ikatan emosi yang terbangun dari kecil akan meminimalkan anakanak kita dari masalah-masalah mental ketika mereka dewasa kelak. Jika Anda tertarik menangani masalah emosi anak dan konseling anak dan remaja
umumnya dapat membaca buku The Christian Therapist’s Notebook yang sudah kami terjemahkan, lengkap
dengan penanganannya.*) Baca Buku ” Mendisiplin Anak Dengan Cerita” (Oleh: Roswitha Ndraha)



Leave a Reply