Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

“MUJIZAT DI MALAM NATAL”




Mirna menarik selimut yang menutupi wajahnya, jam yang tergantung pada tembok tepat didepan tempat tidur menunjukkan pukul 05.00 pagi, ia mengeliatkan tubuhnya, menengok kesamping kiri dan kanan, “Dimana Dimas suamiku? Gumamnya dalam hati. Sejenak ia tersadar, semalam Dimas pergi. Ia mengantarkan ibunya menengok seorang kerabat dekat di Semarang. Oh ternyata aku tertidur rupanya setelah sepanjang malam tanpa dapat memejamkan mata.

Mirna adalah wanita Kristen yang polos dan sederhana.Ia bertemu dengan Dimas 10 tahun silam di gereja dimana mereka sama-sama melayani sebagai penyanyi di gereja. Setelah menyelesaikan studinya diperguruan tinggi Mirna dilamar oleh Dimas yang kala itu sudah berprofesi sebagai guru.

Mirna dibesarkan oleh ibunya sebagai anak tunggal.Ayah Mirna meninggal dunia saat Mirna masih duduk di bangku sekolah lanjutan.Masa kecil Mirna dipenuhi trauma.Masih lekat dalam ingatan Mirna perlakuan ayah kepada ibunya. Ayah Mirna pengangguran, ia selalu kembali kerumah lepas tengah malam hanya untuk bertengkar dengan ibunya. Sangat sering bagi Mirna mendengar perabotan rumah dibanting, jeritan ibu ditengah malam yang lengang, suara pintu dibanting dengan keras lalu isak tangis ibu tertahan akhirnya mereda. Pernah terbersit dalam benak Mirna : “Mengapa ibu mempertahankan pria ini? Ia tidak lebih dari bajingan , kasar, tidak bertanggung jawab.

Pernah suatu hari Mirna memberanikan diri bertanya : “Ibu mengapa tidak bercerai saja? Apa yang ibu dapatkan dari ayah? Ibu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan aku, ibu dan ayah juga, dengan membuka toko kelontong sederhana cukup untuk mengisi tiga perut sisanya dirampas ayah untuk membeli minuman keras dan menghabiskan sisanya di meja judi.Apa jawab ibu? “Ibu bertahan untuk kamu Mir..Kamu harus punya ayah, ibu tidak mau kamu yatim, kamu berhak memiliki seorang ayah.”Aku terdiam.Tak mampu mencerna kata-kata ibu. Setiap kali aku datang dengan pernyataan yang sama ibu selalu punya alasan untuk mempertahankan pernikahannya.

“Berapa lama ibu akan begini terus? Berapa lama lagi?” “Sampai maut memisahkan kami” sahut ibu tertunduk lesu.“Baiklah” kataku.“Tapi apa yang ibu harapkan dari laki-laki seperti ayah?”Aku makin ketus.“Mir, kelak kamu akan belajar, kasih sejati tidak akan menuntut.” Jlebbb! Kasih sejati tidak akan menuntut.

Suatu hari ayah pulang dipapah oleh dua orang laki-laki temannya sesama penjudi.“Ia terjatuh satu jam yang lalu.”Ibu dan aku berlari kearah pintu, tanpa menjawab penjelasan pria yang mengantarnya pulang, ibu menyuruh saya ke rumah tetangga sebelah untuk mendapatkan bantuan agar dapat mengantar ayah ke rumah sakit. Diagnose dokter ayah mengalami serangan stroke, separuh badannya menjadi lumpuh, kata-katanya tidak jelas, ibu dengan kasih yang besar merawat ayah untuk sisa hidupnya. Sebelum ayah akhirnya dipanggil Tuhan, ibu berhasil membawa pendeta kami kerumah, membagi Injil dengan ayah, yang menerimanya sambil bercucuran air mata.Apakah ini kemenangan yang diimpikan ibu.Aku pikir demikian.

Turun dari tempat tidur, Mirna pergi kekamar Josi anak semata wayang mereka.Josi masih disana diantara tumpukan bedcover menutupi hampir seluruh tubuhnya, ruangan masih gelap, suara AC seperti desiran angin mengoyangkan pohon bambu yang membuat daun-daunnya saling bergesekan menghasilkan suara mendesis mirip suara seorang ibu berbisik di telinga anaknya untuk menidurkannya.Mirna berdiri disana beberapa saat.Sanggupkan aku meninggalkan Josi anakku?Seluruh hatiku, Josi sangat mirip dengan aku, bukan saja warna kulit dan rambutnya yang lurus tetapi juga sebagian sifat dan karakterku ada padanya.Ia anak yang jujur, keras hati tetapi sangat berbelas kasihan. Tidak terhitung berapa banyak jaket yang kini melekat ditubuh temannya, sepatu juga kaos.Ia memiliki kemurahan hati yang luar biasa. Kadang seperti melupakan diri sendiri.Butiran-butiran air mata menuruni pipiku, tapi aku harus pergi, aku sudah lelah, 15 tahun aku ada disini, seperti upik abu aku selalu bangun sebelum ayam berkokok.Menyiapkan sarapan untuk seisi rumahku, suami, anak, dan ibu mertuaku.Orang-orang mengenalnya sebagai ibu Sur.

Sur adalah sesungguhnya nama suaminya ayah mertua saya. Kepanjangan dari Suryaadmaja. Ayah mertua adalah pejabat pada salah satu perusahaan peninggalan Belanda yang sekarang menjadi BUMN, ayah dan ibu mertua beruntung dapat mengenyam pendidikan Belanda. Mereka termasuk orang terpandang didaerah kami. Gaya hidup mereka, tata cara bergaul sampai berbusana dan makan bergaya Belanda. Bagaimana posisi gelas dan piring, sampai baju-baju yang ditata di almari.Aku beruntung masuk dalam keluarga ini. Namun sejak ibu mertua terserang stroke 3 tahun lalu ia berubah, atau mungkin aku yang berubah. Aku lelah, walau kami mempunyai Mbok Iyem tapi nampaknya saya telah menjadi asisten pribadi ibu mertua. Setiap pagi saya harus menata sanggulnya, membereskan selimut dan mendorong kursi roda ke ruang makan, lalu membawanya ke teras depan kamar untuk berjemur lalu membawanya kembali kekamar.

Sudah lama saya ingin hidup sendiri bersama suami dan anak.Tetapi ibu mertua tidak mau berpisah dari anak laki-lakinya.Padahal dia masih mempunyai seorang anak perempuan yang tinggal sekota dengan kami. Mapan secara ekonomi dan juga care terhadap orang tua. Tapi mengapa dia memilih kami.Ibu mertua selalu ada diantara kami, lebih buruk lagi suami saya menurutku adalah anak ibu.Selalu menurut apapun keinginan ibu.Bila aku menyatakan keberatanku, suami selalu menunjukkan sikap tidak senang dan menyalahkan.Menikah saja dengan ibumu. Batinku ketus! Kemaren adalah puncaknya dimana aku sudah tidak kuat lagi menahan hati.Ibu mertua ingin mengunjungi kerabatnya di Semarang, tapi itu tanggal 24Desember.Mengapa?Itu hari ulangtahunku, kami sudah merencanakan jauh-jauh hari untuk mengadakan dinner berdua saja.

Aku dikalahkan lagi, aku tidak berarti bagi suamiku, jadi mengapa dulu dia menikahi aku, hanya untuk memberinama bagi kelanjutan keturunan keluarga Suryaadmaja?  Tapi akhirnya suamiku Dimas memilihnya ibunya, makan malam romantic, aku berharap akan menerima hadiah special ulangtahun dari suami tercinta.

Seperti biasanya ketika kami berselisih paham aku memilih diam. Tapi cukup sudah.Cukup adalah cukup.Aku harus pergi.Aku hanyalah upik abu, aku selalu yang mengalah, aku terus memberi dan memberi tidak pernah menerima, menabur dan menabur tidak pernah menuai, semua sudah selesai. Aku kembali ke kamarku membuka lemari menarik dari sana baju-baju yang aku perlukan. Aku akan pergi, mumpung rumah sepi. Rencanaku segera memasukan lamaran pekerjaan. Untuk sementara aku akan menumpang di rumah teman. Tekadku sudah bulat.Biar saja, tahu rasanya dilupakan.

Ketika melewati pintu kamar, tidak dengan sengaja mataku bertemu dengan foto hitam putih ibuku dengan aku. Umurku kira-kira empat atau lima tahun, aku dipangkuan ibu. Ibu tersenyum polos.Sudah lama foto itu ada disana.Aku menemukannya dalam Alkitab tua ibu sewaktu mengumpulkan barang-barang peninggalan pribadi ibu beberapa hari setelah hari pemakaman almarhumah.“Ibu…aku ingin ibu…aku butuh ibu..andai ibu disini, aku tidak punya siapa siapa” air mataku seperti hujan deras, “aku ingin pergi ibu, tolong mengerti aku, aku tidak bahagia disini” hatiku menjerit…

Semua kenangan tentang ibu muncul satu demi satu, jeritan kesakitan ibu karena ditempeleng ayah, kesetian ibu kepada ayah, ibu selalu mengasihi dan mengasihi, memberi dan memberi, mengampuni, menerima. Terngiang kata-kata ibu :”Kasih sejati tidak mengharapkan balasan” tanpa disadari kata-kata ini meluncur dari bibirku berulang kali :”Kasih sejati tidak mengharapkan balasan” aku masih berdiri disana sambil bercucuran air mata bel pintu depan berdering, itu seperti cara suami saya membunyikan bel, kuhapus air mataku. Heran pikirku, mereka kembali?Apa yang terjadi? Kubuka pintu sambil berusaha menghapus sisa-sisa air mata dan ha??? Suami saya Dimas, ibu mertua, beberapa orang turun dari mobil yang terparkir dibelakang mobil suami, mereka berseragam tertentu, dan tanpa pendahuluan semua serempak koor : “Happy birthday..happy birthday…happy birthday Mirna. Aku berlari memeluk suami, “Eitt tunggu dulu” kata suami saya. Ia mundur kebelakang dua langkah, seorang pria yang berseragam tadi maju dan menyerahkan suatu benda kecil yang dihiasi pita merah muda, ia memiringkan tubuhnya dan menunjuk kearah mobil yang diparkir dibelakang mobil kami sambil bergumam : “Selamat ulang tahun ibu Mirna” Aku tidak bisa berkata apa-apa karena terharu dan bahagia, ini adalah  Mujizat di malam Natal.Galatia 6: 9 “ Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik,karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai,jika kita tidak menjadi lemah“

 

Oleh Sarah Anthony

 

 

 



2 Comments

Leave a Reply