Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Dari Penjara Menuju Mimbar




eBahana.com – Pastor Heru Johananta dilahirkan di tengah keluarga Kristen yang taat. Sejak kecil sudah diajari firman Tuhan. Guru Sekolah Minggu Gereja Betel Injil Sepenuh (GBIS) Jl. Piere Tendean Malang
mendidiknya agar mengenal Tuhan. Tapi, fakta berbicara lain. Sejak usia 14 hingga 20 tahun ia sering minggat dari rumah. Ia terlibat free sex, minuman keras, dan perampokan. Ujungnya, penjara Situbondo menjadi labuhannya.

Merasa Terluka
Kenakalan Heru termasuk tidak wajar. Sejak kelas tiga Sekolah Dasar (SD) sudah mulai merokok. Kerap ia meminta rokok dengan alasan akan diberikan kepada ayahnya, meskipun kenyataannya tidak demikian. Tidak
pernah sebatang rokok ia berikan kepada sang ayah. Rokok dengan mudah didapatkan karena rumahnya
dekat pabrik rokok.

Kelas enam SD, Heru sudah menenggak minuman keras. Kenakalannya jelas merepotkan kedua orangtuanya. Karena ulahnya yang menjengkelkan, ia sering dimarahi dan didisiplin. Orangtua berharap, hidup sang buah hati lurus—sesuai firman Tuhan. Namun, kenyataan berbicara lain. Heru justru menganggap orangtuanya melukai perasaannya. Tidak ada usaha untuk introspeksi. Heru marah besar! Hatinya berontak, melawan dan tidak menerima nasihat orangtua yang menyayanginya.

RUSAK
Ibarat menabur benih di tanah berbatu, mungkin tepat untuk menggambarkan hati Heru yang membatu. Firman Tuhan yang diterima dari keluarga dan Sekolah Minggu terkesan tidak berdampak apa pun. Kekerasan demi kekerasan mendominasi hidupnya.

Anak seusianya mestinya belajar. Namun bagaimana dengan Heru? Belajar bukan prioritasnya. Rusak itulah kata yang tepat disandangnya. Tiga kali tidak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan dua kali dikeluarkan
dari sekolah. Suatu kali menjelang Ebtanas, ditangkap polisi karena kasus kekerasan. Bebal. Sukar dinasihati.
Tidak mengindahkan orangtua. Semua itu melekat kuat dalam dirinya.

Periode usia 14-20 tahun, Heru makin tidak terkendali. Bagaikan kuda liar yang lepas kandang. Kasih sayang orangtua tidak dihiraukan. Maunya bertindak sesukanya. Ia pernah minggat. Terjun bebas dalam dunia narkoba, mabuk-mabukan, judi, dan free sex. Ia menjadi preman yang diperhitungkan teman-temannya. Ia
bangga menjadi pahlawan kesiangan. Ia punya banyak uang. Karena itu, ia dapat melakukan apa saja yang menjadi kehendak hatinya.

Klimaksnya, awal 1998, ia mendekam dalam penjara di Situbondo, Jawa Timur. Jeruji besi itu mengajarinya banyak hal hingga ia keluar pada pertengahan September 1998.

Tuhan Dalam Bis
Tidak seperti pabrik mobil yang tidak mau berurusan dengan mobil yang baru keluar dari pabriknya. Setelah
dibeli, mau ditabrakkan, mau masuk jurang, pabrik tidak mau tahu. Tuhan tidak demikian. Hidup Heru yang rusak dan brengsek tetap diurus.

Keluar dari penjara, tiba-tiba perasaan rindu sama orangtua begitu kuat. Akhirnya, ia memutuskan pulang. Dengan minuman keras yang masih di tangan, Heru tiba-tiba menangis. Pasalnya, secara pribadi ia merasakan
hadirat Tuhan begitu kuat. Ia tidak bisa menghindar. Di antara penumpang bis antar kota yang melaju ke Malang, pukul satu siang itu menjadi catatan tersendiri. Bak sebuah film yang sedang diputar, Heru melihat jelas masa lalunya yang suram dan menjijikkan. Rupanya, Tuhan mulai menyapa dengan cara itu.

Hingga tiba di Terminal
Arjosari—Malang, ia terus menitikkan air mata. Dalam perjalanan menuju rumahnya, ada dorongan yang kuat untuk turun di gereja. Gereja tempatnya dididik Sekolah Minggu. Setelah disuruh mandi oleh salah seorang remaja gereja itu, akhirnya ia ikut doa malam. Awalnya, suasana doa malam terasa asing karena sudah lama
meninggalkan gereja. Namun, malam itu Tuhan mengejarnya, hingga kata bertobat menjadi pilihan hidupnya.
Ia bersedia meninggalkan dosa dan berbalik kepada Allah.

Belajar di Berea
Cinta Tuhan berkobar di hati Heru. Walau banyak tantangan, termasuk tidak dipercaya oleh keluarga bahkan
gereja. Namun, Heru menganggap itu sebagai konsekuensi. Pernah dituduh mencuri gitar gereja walaupun ia
tidak melakukannya. Tabah itu kata kunci dalam menghadapi tantangan dan ketidakpercayaan masyarakat
terhadapnya.

Seperti dikatakan Yakobus, iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Iman yang bertumbuh dalam diri Heru mulai diwujudnyatakan. Ada tekad yang kuat untuk melayani Tuhan. Ia buktikan dengan bergabung dalam tim
pelayanan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) Satya Bakti (SATI) Malang di Papua tahun 1999. Di sana
ia melihat kebutuhan ladang pelayanan. Banyak jiwa di Papua membutuhkan hamba Tuhan. Ia terinspirasi dan terbeban untuk menjadi pelayan Tuhan.

Saat niat melayani dan belajar teologi membara, muncul masalah baru. Heru tidak punya ijazah SMA. Persyaratan masuk STT harus lulusan SMA atau sederajat. Maju kena mundur kena. Itulah posisi Heru kala itu. Maju, tidak memenuhi kualifikasi akademis. Mundur, harus menanggung malu karena ia sudah memutuskan belajar teologi.

Syukurlah dalam Tuhan selalu ada solusi. Sekolah Alkitab Berea (SAB) Salatiga yang kini menjadi STT Berea masih menerima lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk belajar di institusi tersebut. Ia pun diterima dengan masa percobaan tiga bulan. Persyaratan di kampus itu, mahasiswa yang akan diterima harus sudah bertobat minimal dua tahun dan melayani di gereja lokal minimal satu tahun.

Oleh anugerah-Nya, Heru membuktikan diri mampu melewati semua rintangan bersama Tuhan. Belajar sungguh-sungguh itulah tindakan awalnya. Kesungguhannya berbuah manis. Tahun 2002, ia lulus dari kampus SAB dengan prestasi memuaskan. Semua karena pertolongan Tuhan.

Spesialis Pelepasan & Pemulihan
Mengenali karunia adalah kunci keberhasilan pelayanan. Berbekal pengalaman melayani di Gereja Sidang
Jemaat Allah (GSJA) Maranatha Palembang, GSJA Charisma Bandung, Gereja Tiberias Indonesia (GTI) Solo dan GSJA Berea Wonogiri, kini suami Lita Dwi Sujarwati ini lebih memfokuskan diri. Dalam pelayanannya di Charismatic Worship Service (CWS) El-Yabes Yogyakarta, Pastor Heru fokus dalam pelayanan pelepasan dan pemulihan. Baginya, pelayanan ini sangat dibutuhkan sebab banyak orang percaya masih dibelenggu kuasa kegelapan dalam berbagai bentuk beban dan dosa. Harus ada orang khusus yang terbeban dalam pelayanan tersebut. Ia merasa terpanggil dalam pelayanan tersebut. Pelayanannya ia sebut pelayanan mengangkat beban, membuang dosa.

Pastor Heru, demikian ia biasa disapa, merasa pelayanan yang fokus sesuai karunia, sangat bermanfaat untuk melayani dengan maksimal. Berdasarkan prinsip itu, ia teguh melakukan pelayanan serupa di jemaat atau di luar jemaat yang digembalakannya.

Oleh Pastor Heru Johananta adalah Gembala Sidang Charismatic Worship, Pst. Heru dan keluarga Service (CWS) El-Yabes Yogyakarta.



Leave a Reply