Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Bertambah atau Berkurang?




eBahana.com – “Terima kasih, Tuhan, sudah memberi aku tambahan umur satu hari lagi. Aku sudah merasa tua untuk mati muda.”

Begitu pesan yang saya baca begitu saya membuka Facebook Arie Saptaji, sahabat saya, yang dikirim ke email saya. Saat merenungkan kalimat itu, saya bertanya kepada diri sendiri, saat kita berulangtahun, umur kita bertambah satu tahun lagi atau justru berkurang satu tahun? Mengapa pemikiran ini muncul? Dasarnya ini. Umur kita sudah ditentukan—kata pemazmur 70 atau 80—kalau lebih bonus. Katakan saja diberi bonus 10 tahun, jadi 90 tahun. Setiap kali kita berulangtahun, sebenarnya ‘jatah’ kita untuk hidup di muka bumi, bertambah atau berkurang. Misalnya umur kita sekarang 50 tahun. Jadi, kita masih punya ‘jatuh’ 40 tahun lagi untuk hidup. Namun, jika kita berulangtahun yang ke-51, berarti ‘sisa’ hidup kita tinggal 39 tahun, bukan? Sekali lagi, saya tanya, jatah hidup kita bertambah atau justru menyusut?

Namun, saya memaknai unggahan Arie dengan sudut pandang begini. Pertama, Arie mensyukuri karena diberi satu hari lagi kesempatan untuk hidup. Bukankah postingan ini merupakan ucapan syukur karena diberi kado satu hari. Kedua, Arie merasa tua untuk mati muda. Cerdas sekali. Artinya, masa ‘mati muda’ sudah lewat. Jadi, bisa saja dia mati tua alias suntuk.

Tulisan pendek Arie itu membuat saya teringat seorang komedian. Ketika teman-temannya sudah lebih dulu dipanggil Tuhan, dia tetap saja hidup. Saat ditanya apa rahasianya, dengan tersenyum dia berkata, “Saat Tuhan memanggilku. Aku pura-pura tulis, sehingga tidak mendengar panggilan-Nya.” Dua tahun kemudian dia dipanggil Tuhan beneran. Kok mendengar kali ini? Jangan-jangan Tuhan bukan saja memanggilnya, melainkan juga menjawilnya sehingga dia tidak bisa pura-pura tuli lagi.

Banyak orang yang menginginkan umur panjang. Itu pula yang sering manjadi doa saat kita mendoakan orang yang sedang berulangtahun. Namun, mati terlalu tua itu juga tidak enak. Di depan kantor saya dulu ada restoran yang menjual Bakuteh terkenal. Suatu kali saya makan di sana dan mendengar percakapan beberapa orang lanjut usia. “Wah, jumlah kita semakin sedikit ya karena teman-teman lebih dulu mendahului kita,” ujar seorang opa berambuh putih. Saya merasakan kegetiran dalam nada suaranya. Semakin tua umur kita, semakin habis teman-teman sebaya kita. Bisa jadi kita masih bisa happy dengan anak, cucu, bahkan cicit.

Namun, kalau semuanya lebih dulu meninggalkan kita, bukankah kita jadi kesempian.

Dalam perjalanan ke kantor, saya ngobrol dengan anak sulung saya tentang Billy, sahabat keluarga yang lebih dulu mendahului kami. Dia meninggal dunia dalam usia yang masih muda karena kecelakaan. “Yo, hal yang paling menyedihkan adalah saat ortu menguburkan anaknya. Bukan sebaliknya,” ujar saya yang diamini oleh anak saya. Bagakmana rasanya jika anak, bahkan cucu meninggal lebih dulu ketimbang kita? Itu sebabnya film serial Highlander yang tokoh-tokohnya hidup abadi menurut saya justru ironi.

Suatu kali dikisahkan Tuhan menyuruh malaikatnya mengambil nyawa seseorang yang usianya sudah lanjut tetapi tidak juga meninggal dunia. Namanya saja cerita, katanya pihak surga lupa mencatat tanggal kelahirannya sehingga tidak tahu kapan harus dipanggil pulang. Bertahun-tahun malaikat itu gagal menemukan orang itu sehingga dia memutuskan untuk menyamar sebagai anak kecil yang terus-menerus mencuci sebongkah arang. Suatu kali, seorang kakek tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Sudah ribuan tahun saya hidup di bumi, tidak ada arang yang bisa bersih meskipun dicuci berkali-kali.” Itulah ucapannya yang terakhir karena bocah itu berubah jadi malaikat dan mencabut nyawanya.

Jadi, selama kita masih diberi kesempatan untuk hidup, marilah kita bersukur dan terus-menerus melakukan kehendak Bapa. Setuju?

Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.



Leave a Reply