Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Atheis yang Bertobat




Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Barat, adalah saksi bisu sebuah tragedi overdosis. Max Valerio, sedang bergulat dengan maut. Menjelang siang, 28 Desember 1998, pria keturunan Italia-Indonesia ini akhirnya sadar.

Tragedi maut ini adalah titik balik. Sang ibu yang telah memasuki hidup baru, tak menunggu lama. Max diajak mengikuti ibadah English Service di Hotel Hilton. Di tempat ini, Max mengalami pertobatan. Max lahir baru menjadi pribadi yang antusias bekerja di ladang pelayanan. Ia rela mengorbankan hariharinya bersaksi dari satu gereja ke gereja lain.

Pemuda Atheis
Max lahir dan besar di Italia. Ayahnya, Giuliano Mastrovalerio, asli dari negeri Spaghetti itu. Ibunya, Sri Wardani, seorang perempuan Indonesia tulen. Ia memperoleh pendidikan Katolik sejak kecil. Namun dengan kesadaran penuh, Max memilih menjadi atheis.

Usai sekolah menengah, Max hijrah ke Inggris. Ia melanjutkan pendidikan di University of Sheffield, di bidang manajemen. Cita-citanya adalah menjadi top manager di perusahaan beken untuk menopang hidupnya kelak. Namun, rencana Tuhan tak seperti rencana Max. Dia punya rencana sendiri buat pria jangkung kelahiran Trieste, Milano, 17 Oktober 1974 ini.

Menjelang pergantian tahun 1998, Max menempuh perjalanan jauh ke Indonesia. Tujuannya hanya satu; berhura-hura menghabiskan liburannya. Tidak heran jika ia rajin menyambangi berbagai lokasi hiburan malam. Meskipun bukan pecandu, di sebuah diskotik kawasan Jakarta Barat, Max mengalami overdosis ecstasy.

Mensinergikan Pelayanan
Nama Max Valerio tidak seterkenal Rev. Jeff Hammond atau Rev. John Hartman. Tapi, soal komitmen
untuk Indonesia dan sinergisitas pelayanannya, ia tidak kalah. Max memadukan pelayanannya di mimbar
melalui buku, CD (lagu), kaset, dan short messages service (SMS).

Ia tidak hanya berkhotbah, tetapi melakukan follow up pendewasaan iman melalui talenta yang dimilikinya. Suaranya yang khas bisa disimak dalam album It Is Well yang diedarkan Bahana Trinity. Lewat kepingan CD, pelayanan Max lebih tajam. Ia juga menyusun buku berjudul NarrowGate. ”Supaya bahasa Indonesianya bagus, saya bekerja sama dengan Vandy Steven,” jelasnya.

Tidak berhenti di sana, ia melebarkan pelayanannya melalui bidang elektronik memakai fasilitas SMS. Max, melalui sebuah layanan SMS berlangganan, melayani pengiriman renungan harian. Kini, ia digandeng Mahaloka Tour untuk menyertai perjalanan ziarah. Perjalanan ke Holyland ini akan digunakan Max untuk mendaratkan materi pengajarannya. ”Perjalanan ziarah rohani seperti misionaris. Harus memperhatikan lingkungan. Jangan hanya mementingkan keinginan daging,” ungkapnya.

Ia juga mengembangkan Cafe Max’P yang terletak di bilangan Gading Batavia, Kelapa Gading, Jakarta, sebagai tempat refreshing bagi umat dan pelayan Tuhan. Max rindu supaya cafe miliknya tersebut menjadi sentral
kongkow-kongkow untuk memuliakan nama Tuhan. “Termasuk menjadi tempat untuk melangsungkan sejumlah agenda seperti launching buku, CD, atau produk apapun untuk kemuliaan Kristus,” ucapnya dengan bahasa Indonesia yang lancar.

Menjadi WNI
Agar lebih leluasa, Max mengubah kewarganegaraannya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). ”Supaya bisa buka restaurant,” selorohnya. Namun, alasan utama adalah demi pelayanan yang sedang dikerjakannya. Pada tahap ini, ia mendirikan NarrowGate, sebuah ministry yang fokus pada pendewasaan rohani. “Titik beratnya pada pengajaran,” imbuh anak didik Pdt. Erastus Sabdono ini. Max memang tidak asal di bidang pengajaran. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Inggris, ia menekuni pendidikan teologia. Hanya 4 tahun
berlalu, ia berhasil merengkuh S1 dan S2 di HITS (Harvest International Theological Seminary). Tekad Max
sudah bulat, ia akan melayani di bumi Indonesia. Rob/Len



Leave a Reply